Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia Bisa Benar dan Bisa Salah

13 Oktober 2017   08:08 Diperbarui: 13 Oktober 2017   08:30 2936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Malaikat tak pernah salah. Setan tak pernah benar. Manusia bisa benar, bisa salah. Maka kita dianjurkan saling mengingatkan, bukan saling menyalahkan." Sebuah nasehat yang sangat bijaksana dari K.H. Musthofa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus.

Pernahkah anda bayangkan apabila semua manusia seperti setan perilakunya. Tipu sana tipu sini, bunuh sana bunuh sini, korupsi dimana-mana, tidak ada satupun manusia yang bisa dipercaya. Apakah pada kondisi semua kayak setan maka instrumen hukum termasuk aparatnya bisa bekerja? Tentu jawabannya adalah tidak, karena yang menjalankan instrumen dan penegakan hukum juga sudah berperilaku seperti setan, maka pasti tidak mungkin ada kepercayaan dari manusia bahwa hukum akan ditegakkan dengan adil, mungkin bisa dikatakan keadilan pun sudah lenyap dari muka bumi ini. Pada kondisi ini semua manusia mungkin stress, karena satu sama lain saling "memakan", tidak ada kebenaran. Setan saja hanya menggelincirkan manusia bukan sesama setan.

Sekarang coba bayangkan pula kalau semua orang berperilaku seperti malaikat. Pasti tidak ada kejahatan, penipuan, pembunuhan, kriminalitas dan hal-hal buruk lainnya. Orang senantiasa akan berbuat baik, taat beribadah karena takut akan dosa. Barangkali pasar akan menjadi sepi, karena orang takut berdagang, karena di pasar paling banyak godaan setan, dari mulai mencurangi timbangan maupun berbohong kepada pembeli maupun penjual mengenai barang yang diperdagangkan. Suasana meeting juga bisa dipastikan sepi, tidak dinamis, karena orang akan memilih diam daripada berkata tapi tidak bermanfaat. Dunia akan sangat hening, penjara tidak ada penghuninya, aparat penegak hukum bahkan tidak diperlukan, semua orang hanya akan berbuat kebaikan dan beribadah pada Allah SWT. Malaikat Atid sebagai pencatat amal baik mungkin juga sudah tidak diperlukan lagi. Kalau nafsu manusia masih ada, manusia tidak akan kuat juga hidup dengan suasana penuh kebaikan seperti dunianya malaikat.

Manusia selalu penuh dengan nafsu baik dan buruk. Menjadi wajar ketika kemudian seseorang berbuat salah, namun bukan lantas juga mengaminkan jika orang tersebut senantiasa berbuat salah. Salah adalah bagian dari hidup manusia yang harus dijalani. Menjadi benar adalah suatu antitesa dari berbuat kesalahan. Tafsir akan kebenaran biasanya menjadi kunci.

Seringkali tafsir kebenaran menjadi sesuatu yang absolut bagi suatu pihak, sehingga menjadi dasar baginya untuk mengatakan bahwa orang lain menjadi salah dan menumbuhkan kebencian diantaranya. Padahal namanya tafsir itu pasti tidak ada penafsiran tunggal tentang kebenaran. Anda pasti ingat Adolf Hitler dimana dulu tentara Jerman di bawah Hitler menjalankan perintah dari sang Komandan untuk berperang dengan Inggris, Rusia, dan tentara sekutu termasuk pembantaian kaum Yahudi yang terkenal dengan peristiwa holocaust. Tentara Jerman mempercayai bahwa perintah Hitler sebagai Kanselir adalah suatu kebenaran. Melaksanaan perintah Hitler adalah sama saja suatu kebaikan dalam menjalankan perintah negara, bukan suatu keburukan apalagi kejahatan. Puluhan tahun setelah Hittler tumbang, masyarakat internasional termasuk Jerman sendiri beranggapan bahwa Hittler dengan ideologi dan NAZI-nya adalah suatu kejahatan, keburukan yang pernah terjadi di dunia. Begitulah kira-kira tafsir mengenai kebenaran, kadang-kadang tergantung waktu tempat, dan pemenang perang atau penguasa. 

Kitab suci pun tidak terlepas dari tafsir, masing-masing bisa menafsirkan Cuma pertanyaannya siapa yang dianggap sebagai penafsir yang sah. Menurut saya selama metode penafsiran sudah menempuh cara-cara yang baik dan benar dan si penafsir sudah punya pengetahuan yang cukup dengan akhlak dan kredibilitas yang tinggi maka sah-sah saja hasil tafsirnya. Perkara soal salah dan benar biar waktu yang mengujinya. Perbedaan penafsiran adalah suatu keniscayaan, menjadi bijak dalam menyikapinya adalah soal pilihan. Perbedaan tidak lantas menjadi awal dari tumbuhnya bibit-bibit kebencian dan permusuhan.

Kebijaksanaan adalah sesuatu yang perlu dilatih dan diasah dalam kehidupan. Semua masalah dan perbedaan bisa diatasi dengan mudah apabila semua orang menjadi bijaksana dan dapat menerima kritik dan saran dengan pikiran bening dan hati terbuka. Karena manusia bisa salah dan bisa benar, maka sudah tugas kita sebagai sesama manusia untuk saling menasehati, saling mengingatkan dengan hikmah dan kebijaksanaan, jangan sedikit-sedikit mengambil jarak dan memusuhi orang lain yang tidak sama dengan kita.

 Satu hadits tentang nasehat:
 : -- -- : -- -- . .
Dari Jarir bin 'Abdillah radhiyallahu 'anhu, ia berkata, "Aku pernah berbaiat (berjanji setia) pada Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam supaya menegakkan shalat, menunaikan zakat dan memberi nasehat kepada setiap muslim." (Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari no. 57 dan Muslim no. 56).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun