Mohon tunggu...
Muhamat RizkiAlfan
Muhamat RizkiAlfan Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Mengenai artikel

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dinamika Politik Hukum Islam dalam Pembentukan UU Perkawinan

24 Oktober 2022   22:49 Diperbarui: 24 Oktober 2022   22:54 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
redaksiindonesia.com

UU Perkawinan mulai berlaku sebelum UU Perkawinan berlaku, antara lain hukum bagi umat Islam etnis Indonesia, menegakkan hukum agama yang diterima oleh hukum adat. Bagi orang Indonesia lain yang beragama selain Islam, berlaku hukum adat. Orang Indonesia Kristen Pribumi mengadopsi pembaptisan Huwelijks Ordonantie Indonesia (HOCI) dalam Staatsblad 1933 no.74. 

Orang asing dari Timur, Eropa dan Tionghoa Indonesia menerapkan hukum perdata Burgerlijk Wetboek. Isu-isu yang muncul dalam perkawinan sebelum UU Perkawinan meliputi adanya praktek poligami sewenang-wenang, penggunaan hukumperkawinan yang berbeda, adanya perkawinan anak dan kawin paksa. Kesemuanya ini merupakan permasalahan yang terjadi di masyarakat yang menjadi alasan dibentuknya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 

Sejarah terbentuknya UU Perkawinan tidak lepas dari campur tangan organisasi perempuan saat itu. Organisasi tersebut antara lain GERWANI dan PERWARI. Berkat perjuangan organisasi perempuan dan seluruh masyarakat, akhirnya pada 31 Juli 1973, pemerintah
mengajukan RUU Perkawinan ke DPR. Perumusan dan pembahasan undang-undang perkawinan memakan waktu sekitar tujuh bulan. Kemudian pada tahun , 2 Januari 1974, Presiden menandatangani undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Tujuan dari UU Perkawinan antara lain pemersatu hukum perkawinan, peningkatan status perempuan, merespon reformasi hukum dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. 

Dengan penyelesaian perkawinan, diharapkan perkawinan anak, poligami, dan hal-hal lain yang merendahkan kedudukan perempuan dalam perkawinan dapat diatasi. 

Contohnya adalah dengan pasal tentang poligami, tidak mudah bagi suami untuk melakukan poligami secara bebas dan mudah, karena dalam undang-undang perkawinan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi bahwa suami akan berpoligami dan harus mendapat persetujuan pengadilan. oleh karena itu hak-hak perempuan
hak keluarga lebih terlindungi.

Dari pembahasan dan analisis yang telah dipaparkan di atas, maka kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa ada ketentuan-ketentuan hukum dalam UU Perkawinan (UU No. 1/1974) yang menimbulkan konflik, yaitu: Pasal 2 ayat (1), Pasal 7 ayat (1), Pasal 31 ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan (2), serta Pasal 42 dan 43 ayat (1). Sedangkan ketentuan-ketentuan hukum di dalam UU Peradilan Agama yang bisa menimbulkan konflik adalah Pasal 50 UU No. 7/1989 dan juga Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU No 3/2006 (sebagai amandemen dari UU No. 7/1989).

Ketentuan yang saling bertentangan dalam UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama disebabkan oleh unsur politik dalam hukum pemerintah yang masih menganggap hukum Islam tunduk pada hukum dan adat Barat. Keberadaan hukum Islam di Indonesia masih dipandang sebagai alat belaka dalam kerangka pembuatan hukum nasional, bukan hukum belaka yang hidup dan berlaku di komunitas Muslim Indonesia. 

Sikap pemerintah Negara Indonesia Merdeka ini merupakan warisan dari sikap pemerintah kolonial Belanda yang menganggap hukum Islam sebagai hukum yang hanya bisa diterima jika menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat (hukum adat), dikenal sebagai kebijakan penerimaan . kesatuan hukum dan nasionalis Muslim menginginkan kebijakan pluralisme hukum. 

Fraksi pertama dalam sejarahnya selalu menguasai kekuasaan negara, baik legislatif maupun eksekutif, sehingga model hukum yang berlaku, termasuk hukum Islam, mengikuti gagasan persatuan bangsa  , seperti UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama yang ada . Hal ini juga mengakibatkan tidak adanya hukum substantif atas perkara yang menjadi kewenangan mutlak Pengadilan Agama selain perkawinan. 

Pemerintah hanya mengatur KAPAN untuk menangani hal ini, meskipun KHI bukan merupakan undang-undang maupun peraturan yang termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena KHI hanya ditetapkan dengan Inpres.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun