Mohon tunggu...
Muhammad razin ayatul hayy
Muhammad razin ayatul hayy Mohon Tunggu... Jurnalis - mahasiswa iain jember

mahasiswa IAT 3

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU Pertahanan

1 Oktober 2019   08:55 Diperbarui: 1 Oktober 2019   09:57 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Rancangan undang-undang itu tak jauh beda dengan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak pasal kontroversial dan tak luput dari kritik. Sehingga banyak masyarakat yang tidak percaya lagi dengan kebijakan pemerintah yang mau mengesahkan rancangan Undang-undang tersebut. 

Banyak para petani yang ikut menyuarakan dan demon bersama para aktifis mahasiswa untuk memperjuangkan hak rakyat terkait dengan undang-undang pertanahan.

RUU Pertanahan lolos dalam pembahasan rapat paripurna DPR Namun, para petani tak serta-merta percaya dengan ucapan itu. Mereka tetap datang untuk menunjukkan sikap.  

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebelumnya berpendapat RUU Pertanahan yang ada sekarang bukanlah rancangan aturan yang sesuai dengan agenda reforma agraria. Justru, RUU itu tidak berpihak kepada rakyat, petani, juga masyarakat adat.

Pertama RUU Pertanahan mengatur cara negara mengamputasi hak konstitusi agraria petani dan dan setiap warga negara Indonesia,.  Prinsip reforma agraria adalah keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 

Nah, RUU Pertanahan tidak memiliki prinsip menyelesaikan konflik, sumber kesejahteraan rakyat, mengatasi kemiskinan, dan pertimbangan ekologis. "Penyimpangan konstitusi dan UUPA terdapat hampir di seluruh bab dan pasal RUU itu

Persoalan kedua, RUU itu mencantumkan ketentuan pemerintah dapat menerbitkan hak pengelolaan (HPL) tanah berbasis hak menguasai negara. Pemerintah jadi memiliki hak untuk menertibkan tanah yang legalitasnya tidak bisa dibuktikan untuk kemudian menjadi tanah negara. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 42-45.  pasal-pasal ini dapat menimbulkan kekacauan. Apalagi, sebenarnya aturan serupa dengan konsep domein verklaring di zaman kolonial sudah dihapus di UUPA.

Yang ketiga, pasal 25 RUU Pertanahan mengubah perpanjangan hak guna usaha (HGU) dari 35 tahun menjadi bisa diperpanjang hingga dua kali sehingga total mencapai 90 tahun. Padahal, UUPA menyebutkan perpanjangan HGU hanya bisa dilakukan sekali. 

Hal lain yang jadi persoalan adalah dalam pasal 79-81 RUU Pertanahan terkait sistem pengadilan pertanahan. Ternyata  pengadilan pertanahan tak bisa menyelesaikan konflik agraria struktural yang selama ini terjadi. 

Justru, pembentukan pengadilan pertanahan dapat semakin melemahkan posisi petani, masyarakat miskin dan masyarakat adat atas tanah mereka. Alasannya, melalui pengadilan pertanahan yang akan diutamakan adalah masalah legalitas. 

Padahal, banyak tanah petani, masyarakat miskin, dan masyarakat adat diukur bukan berdasarkan legalitas, melainkan prinsip keadilan sosial, pemulihan, hak, dan historis penempatan tanah secara turun-temurun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun