Mohon tunggu...
Motulz Anto
Motulz Anto Mohon Tunggu... Creative advisor

Kreativitas - Teknologi - Kebudayaan | Pemerhati kebijakan sosial | Pengamat dan Penikmat Kreativitas, Pelaku Kreatif | Ekonomi Kreatif | Artificial Intelligence (AI)

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Haruskah Aku Ikutan Demo?

16 September 2025   10:20 Diperbarui: 22 September 2025   09:56 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Koleksi pribadi buatan AI)

Kayaknya hampir semua orang sudah tahu ya apa itu FOMO. Tapi bagaimana dengan Peer Pressure? Dampaknya justru bisa lebih ngeri, lho.

FOMO (Fear of Missing Out) itu rasa cemas atau takut ketinggalan tren. Mulai dari ketinggalan acara, game baru, olahraga, sampai joget TikTok atau istilah gaul yang sedang ramai. Rasa was-was ini tidak hanya di dunia nyata, tapi juga di media sosial. Dan di sinilah orang tua biasanya mulai khawatir kalau anak-anak mereka terkena FOMO.

Tapi ada yang lebih berbahaya: Peer Pressure alias tekanan dari lingkaran pertemanan. Tekanan ini bisa datang dalam banyak bentuk: dicueki, dicibir, dijauhi, sampai dikeluarkan dari kelompok. Intinya, seseorang dipaksa memilih: mau ikut bareng atau siap-siap dikucilkan.

Contoh gampang: musim liga bola, musim pilkada, dukungan politik, atau isu global seperti climate change sampai LGBTQ. Kalau satu tongkrongan sudah sepakat mendukung sesuatu, sementara ada anggota yang diam atau tidak ikut nimbrung, bisa langsung dicap "berlawanan." Dari situ tekanannya muncul, entah berupa sindiran halus, dicuekin, tidak diajak ngobrol atau main, sampai kena "hukuman sosial."

Contoh lain, saat peristiwa demo beberapa waktu lalu, ada cerita di medsos, anak-anak kuliah yang terpaksa ikut demo gara-gara dipaksa gengnya untuk ikut turun ke jalan semua. Atau ada juga teman kerja, yang dibombardir dengan pertanyaan mengapa tidak mengganti avatar medsos dengan warna pink-hijau? Ujung-ujungnya, banyak yang akhirnya terpaksa ikut demi pertemanan dan dianggap kompak.

Sekarang bayangkan kalau tekanan seperti ini dialami anak SD atau TK. Kok bisa? Bisa banget. Soalnya peer pressure sekarang gampang masuk lewat medsos. Anak-anak yang diberikan ponsel sendiri bisa bergabung ke grup-grup hobi atau komunitas online. Dari situ muncul aturan tidak tertulis yang seolah wajib dipatuhi. Kalau berbeda sedikit saja, siap-siap kena tekanan.

Lalu, bagaimana cara menghadapi peer pressure? Salah satu cara paling ampuh: perluas pergaulan. Kalau lingkaran kita hanya itu-itu saja, tekanan akan makin terasa. Dengan banyak pergaulan, ada pilihan untuk geser atau "lari" ke lingkungan lain. Yang tidak kalah penting: latih rasa percaya diri. Orang yang percaya diri biasanya lebih tahan banting, tidak gampang dipaksa ikut arus, dan berani memegang pendirian.

Tidak mudah memang, tapi bisa dilatih pelan-pelan. Yang penting, jangan sampai kita kehilangan diri sendiri hanya karena takut tidak dianggap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun