Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Republik Zonder Publika

16 Maret 2021   05:38 Diperbarui: 16 Maret 2021   06:49 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya termasuk bosen, melihat kelakuan elit politik yang begitu-begitu saja. Perilaku yang dipertontonkan, tak lebih dari sebuah 'sandiwara' ketidakmatangan dalam berpikir, bersikap atau bertindak. Ada sebagian (untuk tidak menyebut seluruhnya), kelakuan elit negara ini, yang mengaku diri sebagai bagian dari republik, namun mengabaikan hak-hak publik.

NKRI harga mati dan hargai perbedaan. Kata-kata ini, kadang sekedar ucapan dalam lisan, atau retorika politik. Dengan mengusung keberagaman, dengan cara menekan keunikan kelompok atau agama yang lain. Mengusung kebebasan berbicara dengan cara merendahkan kelompok atau agama lain. Ada saja, argumentasi di negeri ini. Hak-hak budaya lokal, dijunjung tinggi, sebagai sesuatu yang perlu dijaga dan dilestarikan, tetapi hak hidup keunikan sistem nilai agama, diabaikan. 

Rangkaian kejadian itu, merupakan drama-drama kehidupan yang menunjukkan ketidakmampuan memperhatikan nilai dan budaya yang tumbuh kembang di masayrakat, dan cenderung mengedepankan kepentingan kelompok. Bila demikian adanya, ucapan NKRI harga mati, benar-benar mati dalam benak rakyat Indonesia yang tidak dewasa.

Suasana riuh yang masih banyak diperbincangkan adalah kasus Demokrat. Partai yang membawa kata demokrasi, saling rebutan kekuasaan di internal partainya dengan cara yang tidak demokratis. Satu kubu menyerang, ada pelanggaran etika demokratis, dan satu lagi merebut partai dengan cara yang tidak demokratis, setidaknya itulah persepsi satu lawan terhadap lawan lainnya. 

Andaipun, kedua-duanya disebut demokratis, proses dan delik rebutan kekuasaan ini, bukan berasal dari publik, melainkan dari kegelisahan antar elit itu sendiri. Rasa-rasanya, selama pandemi ini, tidak ada kegelisahan publik terhadap masa depan partai ini. Hanya karena kegelisahan elit, kemudian publik disuguhi drama demokratis, yang bernuansa tidak demokratis. Hak publik pun menjadi hampa.

Pikiran dan kebijakan negara yang cenderung memancing kegaduhan. Sejumlah kata-kata, atau kebijakan yang dikeluarkan elit negara, cenderung memancing kegaduhan yang tidak mencerahkan. Presiden mengajak. "benci produk asing", Mas Menteri mengeluarkan peta jalan pendidikan yang tidak memetakan dan malah dianggap mengabaikan 'frase agama', SKB 3 menteri dengan peraturan mengenai pakaian seragam,  presiden dengan perpresnya tentang miras.

Sekali lagi, kegaduhan yang muncul di tengah masyarakat saat ini, rasa-rasanya, tidak mengarah pada upaya membangunkan kesadaran dan kreativitas, dan malah membicarakan hal-hal yang sesungguhnya sudah tidak perlu dibicarakan.  Kehadiran asing adalah nyata, yang paling pokok di zaman sekarang ini, bukan benci produk asing, melainkan cintai dan banggakan produk budaya sendiri. Cinta produk dalam negeri, tidak harus mengandung makna membenci produk orang lain. Artinya, dengan rasa bangga terhadap produk dalam negeri,  produk orang lain hendak berkeliaran di depan mata pun, tidak masalah, kita tidak membencinya, tetapi lebih mencintai produk dalam negeri. Di sini, mungkin orang mengatakan mengenai politik komunikasi. 

Bisa. 

Dalam pengertian, bahwa komunikai poliik elit kita, masih kerap memancing kegaduhan. Itu artinya, ketidakmatangan dalam berpikir atau bersikap. 

Lha, "anda melakukan tindak pencemaran nama baik, dengan mengatakan elit negara kita tidak matang dalam berpikir dan bersikap...", hardik teman, yang mendengar ucapan tadi. "Andai bisa masuk ranah hukum, dengan mengatakan serupa itu...?"

(ya, udah deeh,, aku diem lagi...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun