Wacana mengenai eks napi koruptsi (koruptor) nyaleg, bergulir  cukup panjang. Bahkan, kemudian banyak pihak, khususnya pembela Hak Asasi Manusia (HAM) memandang sebagai bagian dari pemasungan HAM terhadap eks napi korupsi. Â
Tidak tanggung-tanggung, sebagai bagian dari protes dan perlindungannya terhadap HAM, mereka menganggap perlu adanya kepatuhan terhadap regulasi yang ada.
Namun demikian, khusus dalam wacana ini kita melihatnya dari sudut pandang non-HAM. Karena dalam  pikiran saya hari ini, HAM yang kita pikirkan saat ini, lebih mengacu pada HAM formal-legal, dan bukaan HAM yang peduli pada kepatutan dan moral.
Pertama, kita dilanda krisis caleg. Â Setidaknya serupa itulah, yang terbaca oleh masyarakat. Dari 250 jutaan rakyat Indonesia ini, seolah tiada lagi kader pilihan yang layak dan pantas jadi wakil rakyat. Kader yang bisa nyaleg itu, seolah hanya itu-itu saja. Apakah memang demikian adanya ?
Kedua, kepekaan pimpinan partai terhadap kepatutan wibawa legislatif.  Boleh saja, setiap orang memperjuangkan haknya. tetapi, kita semua paham, bahwa proses pencalonan itu pun ada pengaruh peran partai dalam mempengaruhi kepatutan seseornag untuk nyaleg. Jika pimpinan partai, lebih mendahulukan HAM, daripada aspek moral kepatutan, maka kita sebutnya, partai mengalami krisis standar  kepatutan untuk sebuah lembaga mulia yang disebut Legislatif.
Ketiga, prasangka terhadap aspek modal, dan bukan moral. Eks napi korupsi sudah tentu memiliki modal baik itu modal politik, modal popularitas maupun modal ekonomi. Sementara, selain mereka mungkin 'masih' diragukan. Â
Jika partai plitik lebih memilih aspek modal daripada moral, maka penyanderaan dari eks napi korupsi ini, akan jauh lebih berpengaruh dan lebih kuat, daripada perjuangan penegakkan kepatutan atau moralitas.
Keempat, kita memang menyadari,  jika ada yang membuat argumentasi (1) pemenjaraan itu adalah hukuman, dan (2) jika sudah menjalani hukuman, berarti dia memiliki hak sama dengan warga negara lain, (3) artinya tidak ada bedanya dengan warga negara yang  lain, dan tidak boleh menilai 'bersalah kepada orang yang pernah menjalani hukuman formal'. logika itu benar, hanya m asalah, apakah tidak ada kader alternatif selain yang itu ?
Terakhir, rasanya, adalah sebuah kebutuhan mendesak, untuk menjaga kehormatan lembaga, daripada soal penguasaan kekuasaan. Artinya, partai politik hendaknya tidak melulu mikirin jumlah wakilnya duduk di legislatif, tetapi juga menjaga kewibawaa lembaga iitu sendiri.