Islam pada esensinya memandang manusia dan kemanusiaan secara sangat prestisius dan integratif.
Menurut Islam seluruh manusia berasal dari satu asal yang sama; Nabi Adam dan Hawa.
Meskipun dari nenek moyang yang sama, namun dalam perkembangannya kemudian terpecah-pecah menjadi bersuku-suku, berkaum-kaum, atau berbangsa-bangsa, lengkap dengan segala kebudayaan dan peradaban khas masing-masing (QS. Al-Hujurat:13).
Semua perbedaan yang ada selanjutnya mendorong mereka untuk saling mengenal dan saling mengapresiasi satu sama lain. Iniah yang kemudian oleh Islam dijadikan perspektif "kesatuan umat manusia" yang pada gilirannya akan mendorong solidaritas antar manusia.
Agama di dunia ini sebenarnya memiliki tugas yang sama, yaitu untuk membangun kehidupan dan peradaban manusia yang lebih baik dan lebih manusiawi.
Kita akui, hubungan antar umat beragama di Indonesia sejauh ini memang tidak bisa lepas dari problem mayoritas dan minoritas.
Di kalangan mayoritas sering timbul perasaan tidak puas karena merasa terdesak posisi dan perannya. Sedang di kalangan minoritas sering timbul ketakutan karena merasa terancam eksistensi dan hak-hak asasinya.
Potensi ketidakharmonisan dalam konteks mayoritas-minoritas di atas jika tidak bisa dieliminasi dengan baik, akan membawa implikasi dalam hubungan antar umat berbagai agama, pergaulan masyarakat, dan bisa menggejala dalam berbagai bentuk ketegangan.
Hubungan sosial membuka dua pilihan; harmoni atau konflik. Harmoni terbangun ketika masing-masing pihak berusaha untuk saling memahami dan mengedepankan toleransi, sehingga tercipta kehidupan yang penuh kedamaian.
Sebaliknya konflik terjadi ketika masing-masing memegang kukuh kebenaran yang diyakininya tanpa kompromi, melihat pihak lain sebagai lawan yang harus dikuasai, atau musuh yang harus ditundukkan. Jika masing-masing pihak memegang sikap destruktif semacam ini, maka konflik menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari.
Seperti peristiwa perusakan mushollah di Minahasa Utara pada rabu (29/1/2020) malam oleh kelompok konservatisme Kristen, merupakan cermin buruk bagi kita. Bagaimana pun, praktik brutal dan destruktif baik dalam jubah agama maupun sosial adalah asing bagi wajah plural Indonesia.
Perbenturan kepentingan dan aroganisme menjadi sebab determinan lahir dan berkembangnya sebuah konflik. Fenomena konflik berlatar belakang agama sesungguhnya melahirkan paradoks dalam agama sendiri. Sebab tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan, penghancuran dan kolonialisasi. Meskipun di satu sisi agama membelah kehidupan menjadi dua kutub yang selalu berseberangan: benar dan salah, hitam dan putih, gelap dan terang, dan seterusnya.