Mohon tunggu...
Mohamad Rosyidin
Mohamad Rosyidin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Departemen Hubungan Internasional Universitas Diponegoro

doyan ngopi, diskusi dan baca buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Soft Balancing Indonesia Meredam Agresifitas China di Laut China Selatan

24 Mei 2024   18:44 Diperbarui: 24 Mei 2024   18:44 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tahun 2011 silam, pakar geopolitik Amerika Robert D. Kaplan dalam artikelnya di Foreign Policy menulis, "the South China Sea is the future of conflict." Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa, "the waters of the South China Sea may constitute the military front line of the coming decades" (Kaplan, 2011).

Proyeksi tersebut tampaknya bukan isapan jempol belaka. Berulangkali China terlibat insiden di wilayah sengketa Laut China Selatan dengan sejumlah negara, terutama Filipina dan Indonesia. Walaupun bukan sebagai negara pihak dalam sengketa teritorial itu (claimant states), Indonesia berkepentingan menjaga kedaulatan di Laut Natuna Utara yang masuk ke dalam klaim sepihak China.

Hubungan Indonesia-China sempat tegang pada 2016 saat KRI Imam Bonjol menembak kapal nelayan China di Natuna. Presiden Joko Widodo bahkan sampai harus menggelar rapat terbatas di atas geladak kapal perang itu untuk memberi sinyal tegas kepada China bahwa perairan Natuna masuk ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia.

Sejumlah strategi juga sudah diupayakan untuk mencegah eskalasi konflik kedua pihak. Strategi itu mencakup pendekatan diplomatik, hukum internasional, institusional, ekonomi, maupun sosial. Namun sejauh ini semua pendekatan tersebut tampaknya kurang efektif meredam agesifitas China di Laut China Selatan. Insiden serupa terus terjadi dan bukan tidak mungkin ke depan China akan semakin berani. Tentu ini memberikan ancaman langsung terhadap kedaulatan Indonesia serta mengganggu stabilitas keamanan di kawasan.

Strategi alternatif

Ketika menyangkut kepentingan nasional, semua negara akan menaruh semua opsi kebijakan di atas meja. Dalam menangani masalah Laut China Selatan, Indonesia konsisten di koridor diplomatik dan hukum internasional. Pemerintah tetap mengedepankan pendekatan dialog seraya menegaskan status Laut Natuna Utara sebagai wilayah Indonesia yang sah sesuai kerangka hukum laut internasional (UNCLOS). Indonesia, yang menganut doktrin pertahanan defensif-aktif, tidak mempertimbangkan penggunaan senjata sebagai opsi penyelesaian konflik kecuali sangat terpaksa (last resort).  


Salah satu solusi alternatif yang bisa dicoba pemerintah Indonesia adalah strategi soft balancing. Konsep ini mengacu pada penggunaan cara-cara non-ofensif untuk mengurangi ancaman negara lain (Paul, Wirtz and Fortmann, 2004). Kontras dengan hard balancing, strategi ini tidak menunjukkan sikap penentangan secara terang-terangan melainkan secara implisit (tacit). Alhasil, negara yang menjadi sumber ancaman tidak merasa terancam, atau minimal tidak terlalu reaktif dalam menyikapi strategi soft balancing tersebut.

Indonesia bisa menerapkan strategi ini di Laut China Selatan dengan mengundang investor asing untuk menjalankan bisnisnya di Laut Natuna Utara. Gagasan mengundang investor asing di Natuna ini sebenarnya pernah diusulkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ketika menerima kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mark Pompeo tahun 2020 silam. Menlu Retno mendorong AS berpartisipasi dalam upaya peningkatan ekonomi di wilayah-wilayah terluar Indonesia termasuk Natuna. Tidak hanya AS, pemerintah Indonesia juga berusaha menarik minat Jepang berinvestasi di wilayah itu.

Gayung pun bersambut. Pada akhir Maret 2022, Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Yeng Kim melakukan kunjungan ke Kabupaten Natuna untuk menjajagi peluang kerjasama di bidang ekonomi dan keamanan (US Embassy, 2022). Tidak sampai di situ saja, pada Mei 2022, Kedutaan Besar AS mengirim stafnya ke Kabupaten Natuna untuk mempelajari potensi dan prioritas apa saja yang akan dibangun di Natuna (Pemkab Natuna, 2022). Kunjungan ini merupakan sinyal positif bagi strategi soft balancing Indonesia. Namun sayangnya, hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang konkret dari kunjungan tersebut.

Wilayah Natuna sendiri sebenarnya menyimpan potensi luar biasa untuk digarap, terutama di sektor migas, perikanan, dan pariwisata. Cadangan gas di Blok East Natuna merupakan yang terbesar di Indonesia, yakni sebesar 46 triliun kaki kubik. Sementara cadangan minyak di blok tersebut sebesar 135 juta barel. Di sektor perikanan, perairan Natuna menghasilkan tangkapan 500 ribu ton ikan per tahun. Di sektor pariwisata, wisata bahari menjadi ujung tombak industri pariwisata di Natuna.

Dengan potensi seperti itu, pemerintah perlu kembali melobi negara-negara mitra khususnya AS dan Jepang supaya berminat berinvestasi di Natuna. Investasi ini tidak hanya berkontribusi secara ekonomi, melainkan juga keamanan. Keberadaan perusahaan-perusahaan asing di wilayah itu akan dipandang sebagai aset negara oleh negara asal (home country). Hal ini secara otomatis akan mendorong negara tersebut melakukan upaya-upaya perlindungan aset mereka di luar negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun