Mohon tunggu...
Mohamad Asrori Mulky
Mohamad Asrori Mulky Mohon Tunggu... Dosen - Penyintas di Jalan Ilmu

Penyintas di Jalan Ilmu, Pernah Nyantri di PonPes Subulussalam, Kresek, Banten dan Pondok Tahfidz Daarul Qur'an, Cikalahang Dukupuntang, Cirebon.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mendialogkan Isra dan Mikraj

23 Maret 2021   10:47 Diperbarui: 27 Maret 2021   07:38 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini bukan sekedar perjalanan spiritual-individual di waktu malam demi sebuah titah Tuhan berupa sholat yang harus didapat. Tapi tentang sebuah misi kenabian yang menyeluruh, yang meniscayakan hubungan harmonis dalam perjalanan empat arah Nabi Muhammad Saw pada peristiwa isra dan mikraj: dari bumi ke bumi, dari bumi ke langit, dari langit ke bumi, dan dari bumi ke bumi.

Sejarawan semisal Ibnu Hisyam mencatat, isra dan mikraj merupakan peristiwa paling agung yang pernah dialami Nabi Muhammad semasa hidupnya. Betapa agungnya peristiwa itu, sampai-sampai sejumlah pemikir ternama telah diilhaminya. Sebut saja misalnya, Dante Alighieri dalam The Divine Comedy, Mohamad Iqbal dalam Javid Namah, dan mistikus besar Fakhruddin Atthr dalam Mantiq At-Thair.

Isra dan mikraj adalah jamuan istimewa (undangan) dari Allah SWT untuk Nabi agar ia datang menghadap-Nya. Mula-mula momen penghadapan ini dimengerti sebagai bagian dari bentuk penghambaan Nabi secara spiritual lantaran sangat bersifat personal. Namun juga sebetulnya mengisyaratkan penyapaan yang bermakna sosial kemanusiaan. Perjalanan arah kembali yaitu dari langit ke bumi dan dari bumi ke bumi, adalah dalam rangka menggenapi misi Nabi sebagai pembawa risalah bagi manusia.

Relasi Empat Arah

Akan ada suatu masa dalam waktu di bagian hidup manusia sebuah peristiwa yang diliputi kesedihan amat berat akibat batu ujian yang membeban di atas pundak. Seperti halnya pernah dialami Nabi Muhammad ketika ditinggal pergi (wafat) istri terkasih (Siti Khadijah) dan pamannya (Ab Thlib). Sementara tanggung jawab profetik sebagai penyampai risalah kala itu belum terpenuhi semua. Inilah 'Aam al Huzni---tahun duka cita baginda kita.

Pada keadaan seperti itu, Allah SWT perlu menguatkan hati Nabi dengan memperjalankannya (Isra') di waktu malam dari Masjid al-Haram di Makkah al-Mukarramah menuju Masjid al-Aqsha di Jerusalem. Dalam pengembaraan tersebut, Allah mengajak Nabi untuk membuka mata, hati, dan pikirannya mengenai cakrawala dunia yang begitu luas dan besarnya ciptaan Tuhan yang tak terbatas. Isra merefleksikan perjalanan arah mendatar (dari bumi ke bumi) yang sebetulnya memuat kesadaran akan pentingnya penyaksian terhadap realitas emperik yang ada di dunia. Di mana kemelut hidup yang mendekap dalam diri tidak boleh mengabaikan kemungkinan masa depan yang bisa saja diraih lebih gemilang.

Perjalanan tahap kedua, mikraj lebih merefleksikan perjalanan menanjak (dari bumi ke langit). Dimulai dari Qubbah As-Sakhrah menuju Sidrat al-Muntaha, Nabi menembus petala langit untuk mendapat perintah sholat. Pada saat itulah Nabi bisa berdialog dengan Tuhan secara langsung, suatu momen yang dilukiskan oleh kaum sufi sebagai pertemuan penuh rindu antara pecinta dengan kekasihnya. Dan di dalam puncak 'Arsy paling subtil, tak ada satu mahluk, bahkan malaikat pun, dapat ditemukan. Yang ada hanyalah Sang Kekasih dalam penyatuan paling akhir. Manunggal.

Hanya saja, pertemuan sakral dan personal di alam tanpa warna, tanpa aksara ala para sufi itu telah membuat mereka terlena. Kenikmatan spiritual pada level penyatuan (ittihd) membuat mereka enggan menjejakkan kakinya kembali ke bumi. Satu situasi yang sebetulnya mengundang reaksi keras dari Mohamad Iqbal. Baginya, pengalaman spiritual sufi tidak boleh melenyapkan khudi (ego/diri) dari tanggungjawabnya sebagai mahluk sosial yang bereksistensi di bumi.

Atas dasar itulah perjalanan arah kembali dari langit ke bumi yang dilakukan Nabi Muhammad pada peristiwa isra dan mikraj menjadi sangat penting maknanya. Ibarat sinar matahari memberi terang bagi semesta, begitu juga dengan peran Sang Nabi pasca memperoleh pencerahan spiritual paling esensial, memberi kesadaran pada umat manusia. Perjalanan arah kembali ke alam bumi, tiada lain, kecuali untuk menggenapi misi Nabi sebagai pembawa risalah yang harus disampaikan, tablgh. Lagi pula seluruh risalah yang dibawanya, tanpa kecuali, untuk kemaslahatan masyarakat bumi. Bukan masyarakat langit.

Sesampainya di bumi, Nabi kembali menjadi manusia yang menyejarah, yang terikat dengan ruang dan waktu. Dan itu berati momen pencerahan yang diperolehnya harus mengisi ruang-ruang kebudayaan dan kehidupan manusia melalui nilai-nilai keadilan, persamaan, kesetaraan, persaudaraan umat, dan kemanusiaan. Perjalanan tahap akhir (dari bumi ke bumi) ini pada akhirnya melahirkan peradaban maju yang berkeadaban, al Madnah al Munawwaroh (Kota Madinah), yang berarti peradaban yang cerah-mencerahkan.

Masyarakat yang Berkeadaban

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun