Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kisah Mudik Tahun 90-an

28 April 2022   02:28 Diperbarui: 29 April 2022   22:18 2010
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang lebaran kata “mudik” menjadi kata yang mendebarkan bagi para perantau. Mendebarkan karena kisah mudik setiap masa meninggalkan esensi yang sama–melepas rindu pada kampung halaman–tetapi menorehkan jejak pengalaman yang berbeda dalam perjalanan. Dari masa ke masa pengalaman itu akan berbeda sesuai dengan perkembangan teknologi, perubahan sosial, dan budaya. Pengalaman mudik tahun 80-90 an tentu akan berbeda dengan pengalaman mudik tahun 2000-an. Lebih berbeda lagi mudik tahun ini 2022.

Bagaimana perjalanan mudik tahun ini? Saya tidak dapat membuat repotasenya karena saya tidak mengalaminya. Sejak selesai kuliah tahun 93 di kota tua Singaraja Bali, saya tidak pernah lagi melakukan perjalanan mudik Bali-Lombok karena masa perantauan telah berakhir. 

Namun demikian saya memiliki pengalaman mudik 30 tahun lalu ketika menjadi mahasiswa. Ada dua alternatif jalur kala itu yang dapat dipilih. Pertama, jalur melalui pesisir timur pulau Dewata. Saya atau pelaku perjalanan berangkat dari Singaraja (Buleleng) melalui Kubutambahan, Tejakula terus menuju Amlapura dan Karang Asem. Perjalanan mudik darat akan berakhir di pelabuhan Padang Bai. Di antara kompasianer mungkin banyak yang akrab dengan jalur itu. Jalannya cukup ekstrem, berliku dan penuh tanjakan. Jarak tempuh Singaraja ke Padang Bai lebih dari 110 km. (Jika urutan jalur itu keliru mohon diluruskan karena sebagian besar tidak lagi tersimpan dalam memori saya)

Jalur ke dua, melalui jalan tengah menuju terminal Ubung. Dari terminal ini penumpang kemudian transit kendaraan yang menuju pelabuhan Padang Bai.

Sebagai mahasiswa yang rerata memiliki anggaran perjalanan pas-pasan, saya dan teman teman lebih memilih jalur pesisir karena biayanya lebih irit dan tanpa transit. Dari Buleleng atau Singaraja, sopir langsung mengantar penumpang ke mulut pelabuhan.

Pada masa itu, perjalanan mudik tidak semudah mendapatkan transportasi seperti sekarang ini. Alat transportasi masih terbatas. Kala itu belum tersedia bus yang beroperasi membawa penumpang menyusuri sisi timur pulau Bali. Satu-satunya alat transportasi yang tersedia adalah armada angkutan umum berupa mobil Mitsubishi type L300. 

Saya ingat nama mobilnya “ARTHA”. Ada beberapa mobil dengan nama yang sama beroperasi. Hanya mobil “ARTHA”. Tidak ada yang lain. Kondisi mobilnya semua sudah tua. Jika mobil setua itu digunakan sekarang ini, bisa jadi sopirnya akan kena tilang sepanjang jalan karena dianggap tidak layak pakai. 

Untuk mendapatkan kursi, penumpang harus memesan satu atau dua hari sebelumnya dengan biaya perjalanan 5 rb rupiah. Pelayanannya cukup menarik. Penumpang dijemput door to door, hanya menunggu di pintu gerbang dan mobil datang menjemput. Demikian juga kalau kembali dari Padang Bai, para penumpang tinggal turun di depan gerbang rumah atau tujuannya di Singaraja.

Sopir yang membawa mobil juga rata-rata sudah tergolong uzur. Maka dalam perjalanan, sopirnya bisa mengajak penumpang istirahat atau kencing 2-3 kali. Saat ini perjalanan Singaraja dan Padang Bai mungkin dapat ditempuh dalam waktu 3 jam. Akan tetapi, saat itu perjalanan bisa mencapai 4 sampai 5 jam. Sebuah perjalanan yang melelahkan. 

Saat paling mendebarkan adalah saat bersua dengan tanjakan. Putaran mesin mobil menjadi berat. Jalannya tertatih. Kondisi mesin mobil yang sudah ringkih mengeluarkan asap knalpot dengan bau yang tidak sedap. Penumpang yang rentan mabuk perjalanan harus menyiapkan kantong kedap air untuk menampung cairan muntahan agar tidak membuat cipratan pada penumpang lain. Jika penumpang penuh, bersiaplah untuk bertahan dalam posisi duduk yang tidak dapat diubah kecuali sopirnya mengajak istirahat atau turun kencing. Di balik suasana mendebarkan itu, penumpang dapat menikmati keanggunan bukit, hamparan persawahan, dan pesona pantai sepanjang perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun