Pilkades Tidak Dibolehkan dan Sekolah Tatap Muka DilarangÂ
Sepertinya ada semacam kerancuan, ketika pilkades tidak dibolehkan, sekolah ditutup serta ada beberapa kegiataan sosial dan keagamaan yang dibatasi pelaksanaanya, dengan pertimbangan untuk memutus rantai penyebaran virus covid-19.Â
Lalu kenapa pelaksanaan pilkada diperbolehkan, sebagaimana kita lihat perkembangan tahapannya terus dilaksanakan. Bukankah ini juga akan mendatang kluster baru dalam penyebaran virus corona?.
Menjadi rancu ketika menteri dalam negeri mengeluarkan kebijakan untuk menunda pilkades, sementara tahapan proses pilkada berjalan terus. Bukankah kedua kegiatan tersebut sama-sama mendatangkan keramaian, siapa yang bisa menjamin diantara kerumunan massa tersebut, tidaka ada yang menderita covid-19?.
Jika dikatakan pelaksanaan pilkada, dilakukan dengan protokol kesehatan yang memadai, maka untuk kegiatan lain seharusnya pemerintah juga bisa mengambil kebijkan dengan pertimbangan, setiap kegiatan pelaksanaannya harus memenuhi standar protokol kesehatan.
Sehingga nantinya tidak terkesan, bahwa pemerintah memilih-milih kegiatan tertentu untuk dibolehkan pelaksanaannya, selama punya kepentingan dan menguntungkan mereka. Sementara kegiatan yang tidak memiliki efek manfaat untuk mereka tidak dibolehkan.
Asumsi negatif seperti itu, tentunya akan terus muncul jika sikap pemerintah tidak tegas dengan kebijakan yang tidak bisa menghentikan untuk setiap kegiatan yang berpotensi akan terjadinya penyebaran covid-19. Â
Jalan Untuk Merawat DemokasiÂ
Pilkada merupakan jalan demokrasi yang sudah lama mengakar di Indonesia, hasil akhir dari sebuah kegiatan tersebut adalah melahirkan para pimpinan pemerintahan (eksekutif) setingkat gubernur, bupati dan walikota. Dengan masa kerja sekitar lima tahun atau satu priode.
Dalam kurun waktu satu priode setiap kepala daerah terpilih harus bisa membuktikan kinerjanya, dengan disertai pelaksanaan terhadap janji-janji yang pernah disuarakannya saat kampanye sebelum mereka terpilih.