Banyak dari manusia menjadikan menikah adalah tujuan hidup, cita-cita, capaian kehidupan atau bahkan beranggapan dengan menikah adalah bahagia. Terkadang tujuan orang menikah itu karena tuntutan usia, tuntutan keluarga, tuntutan sosial, tuntutan ekonomi bahkan dorongan biologis.
Nyatanya dengan menikah merupakan penyatuan dua individu yang berbeda. Berbeda latar belakang, pola asuh, pendidikan, karakter, sosial budaya, dll. Ada banyak penyesuaian yang harus dilakukan di dalam sebuah pernikahan, mulai dari penyesuaian visi misi, penyesuaian tujuan, penyesuaian gaya hidup hingga kebiasaan masing-masing pasangan.Â
Fisik, uang, gelar dan status sosial bukanlah suatu jaminan sebuah pernikahan akan berlangsung awet dan langgeng. Semua hal tersebut dapat lah berubah sejalannya waktu. Seperti berita baru-baru ini mengenai  pasangan berkecukupan dan tersohor di dunia dikabarkan memutuskan untuk berpisah setelah 27 tahun bersama dalam sebuah ikatan pernikahan.
Banyaklah hal yang dapat menyebabkan sebuah pernikahan itu terganggu, mulai dari keegoisan, ekonomi, perubahan tingkah laku, faktor yang berasal dari luar dan banyak hal lainnya yang dapat saja timbul. Dampak yang mungkin terjadi pastilah akan sangat merugikan baik bagi pasangan itu sendiri maupun untuk buah hati mereka.Â
Lalu dampak apa yang terjadi kepada anak? Kebingungan, kesedihan, kekecewaan, dll. Seorang anak remaja laki-laki  di jakarta terlihat bahagia, bergaul, memiliki banyak aktivitas dan terkadang menjadi motivator untuk teman-temannya. Namun suatu waktu dia bisa menjadi sangat murung, menangis, hingga menyakiti diri sendiri di kala ia melihat sebuah keluarga utuh dengan orangtua lengkap. Hal ini sangatlah menyiksa bagi remaja tersebut, hingga menjadikan rumah serasa kost yang hanya ingin dihampiri saat malam tiba.Â