Demokrasi di Persimpangan Jalan
Indonesia sering disebut sebagai salah satu negara dengan demokrasi terbesar di dunia. Dengan lebih dari 270 juta penduduk, pemilu yang rutin digelar, serta kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi, seharusnya demokrasi tumbuh subur di negeri ini. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, rakyat kerap merasakan jurang lebar antara mereka dan para wakil rakyat yang duduk nyaman di kursi parlemen.
Kasus penggerudukan rumah Ahmad Sahroni pada Sabtu, 30 Agustus 2025, menjadi bukti nyata bagaimana akumulasi kekecewaan dapat meledak menjadi amuk massa. Bukan sekadar kerusakan fisik yang terjadi, tetapi juga kerusakan simbolis: runtuhnya kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif.
Kronologi Penggerudukan Rumah Ahmad Sahroni
Peristiwa ini berawal dari memanasnya aksi-aksi protes nasional pasca tragedi kematian Affan Kurniawan, seorang driver ojol yang menjadi korban bentrokan dengan aparat saat demonstrasi menuntut pembubaran DPR. Ucapan Ahmad Sahroni yang menyebut para demonstran memiliki "mental tolol sedunia" menyulut api kemarahan.
Sabtu sore, ratusan warga mendatangi rumah pribadinya di Jalan Swasembada Timur XXII, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka datang dengan motor, berjalan kaki, sambil berteriak memanggil nama Sahroni. Polisi dan TNI sudah berjaga, tetapi jumlah massa yang kian bertambah membuat situasi tak terkendali.
Benteng pagar rumah akhirnya dijebol. Massa melempari kaca dengan batu, memecahkan jendela, dan masuk ke halaman rumah. Mobil mewah Lexus RX 450h+ senilai miliaran rupiah rusak parah. Patung Iron Man koleksi Sahroni raib dijarah bersama barang-barang pribadi lainnya: kulkas, kursi, helm motor, hingga lukisan. Rumah porak poranda, sementara aparat terlihat kewalahan.
Massa berteriak: "Mana Sahroninya? Keluar! Keluar!" Namun, Sahroni tidak berada di lokasi
Dampak Politik: Sahroni Tersingkir dari Jabatan
Pasca insiden itu, Partai NasDem segera melakukan rotasi jabatan. Ahmad Sahroni dicopot dari posisi Wakil Ketua Komisi III DPR dan dipindahkan ke Komisi I. Fraksi menyebut ini sebagai "penyesuaian normal," namun publik melihatnya sebagai konsekuensi politik dari ucapannya yang dianggap menghina rakyat.