Realita per hari ini mata saya, eh bukan mata saya doang sih, tapi mata kita, telinga kita, disibukkan dengan melihat dan mendengan frasa "Dilan", "Milea", dan juga beberapa kalimat seperti "Jangan rindu kamu gak bakal kuat, biar aku saja", meme film Dilan pun bermunculan. Iya betul, sejak muncul rumor Novel "Dilan: dia adalah Dilanku Tahun 1990" karya Pidi Baiq akan difilmkan, hingga 25 Januari kemarin resmi tayang di bioskop Indonesia, membuat setiap kita melihat beranda instagram, instastories, twitter, facebook, isinya Dilaaaaan mulu, Mileaaaaa mulu. Akhirnya karena penasaran saya pun memutuskan untuk menonton langsung Film Dilan tersebut. Alhasil, ternyata menurut penilaian saya, Film Dilan cenderung terlihat dipaksakan dan beberapa tidak sesuai dengan imajinasi yang ditimbulkan saat membaca versi novelnya.
Berikut 5 alasan mengapa film Dilan cenderung terlihat dipaksakan versi saya yang dikolaborasikan dengan pendapat penulis keren 'Bung' Fiersa Besari beserta warganet lainnya:
1. Pemeran Dilan
Namun ternyata, di luar dugaan, Iqbal Ramadhan mematahkan keraguan mayoritas warganet, termasuk saya sendiri. Iqbal ternyata sangat pas memerankan Dilan. Mungkin karena film ini ditangani langsung oleh penulis aslinya yakni Pidi Baiq alias Surayah.
Diceritakan bahwa adegan tersebut terjadi pada tahun 1990, namun masih ada bahkan banyak hal-hal milenial yang ikut ke dalam frame, product placement yang tak sesuai dengan zamannya, seperti kursi sofa yang terlihat sudah modern, kompor gas, gas melon, botol saus kecap di tukang bakso yang modern, padahal tahun segitu pakenya botol kaca.
Dan betapa hampir tidak ada benda-benda era 90-an yang mencolok kecuali mobil, motor dan telepon koin. Padahal bisa saja ditambahkan kaset dan TV cembung. Bayangkan tahun segitu, rambut cewek-cewek sudah pada badai, udah kenal sama curly, udah pake blush on ke sekolah, pake mascara, keren beuttt. Bahkan si Rati dan Rani yang udah pake catokan, andaikan di make up agak polos udah persis tahun 90-an kali ya.
Ada lagi, terlihat plat mobil tertulis 2022, sepele sih, tapi ini fatal sebenernya, penampakan gorengan dan settingnya tidak sesuai dengan zamannya.
Memang sih cerita di film ini tersampaikan dengan baik, tapi ada yang terasa janggal, yakni tampilan visualisasi film. Color grading terlihat belang, greenscreen yang kentara, green screensaat ke bulan, adegan bunda dalam mobil, berasa nonton film naga-nagaan ala-ala sinetron khas Indonesia wkwkwk dan perpindahan scenes yang cenderung terlihat kasar. ya... walaupun terlihat mengganjal, namun ini masalah teknis saja.