Waktu pertama kali menulis di Kompasiana, selesai menulis, selalu menunggu yang memberi nilai. Â Jika ada pembaca yang memberi nilai di tulisanku, alangkah senangnya hati ini. Senyum saya bisa mengembang berhari-hari.Â
Mulai sejak itu pula, aku merasa bahwa jari jari tangan kita bisa memberikan semangat kepada orang lain melalui sebuah klik nilai. Â Setiap kali mendapatkan nilai sepertinya semangat menulis saya tumbuh jutaan kali lebih banyak.Â
Menunggu ada orang memberi nilai seperti seorang calon pengantin perempuan sedang menunggu calon suami saja. Deg deg pyar. Bagaimana kalau tak ada yang memberi nilai di tulisanku itu. Jangan jangan tulisanku jelek banget sehingga tak ada yang mau menyempatkan waktunya untuk sekadar ngeklik nilai.Â
Tapi, memang ada nilai aneh. Kok menilai tulisan teman sebagai "tidak menarik". Ini dasarnya apa ya?Â
Nilai ini sudah pernah dipersoalkan kalau tidak salah oleh Om Felix, tapi tetap saja nongkrong. Dengan tetap tanpa penjelasan urgensinya nilai yang satu ini.Â
Nah, saya pernah dapat nilai ini. Sekali. Waktu menulis politik. Â Dan saya yakin, bukan karena tulisan tidak menarik, tapi karena berbeda posisi berdiri saja. Tapi, sempat kepikiran, apa tulisan tersebut telah menyinggung dia?Â
Kenapa saya tidak mau memberi komentar?Â
Saya selalu berkeyakinan jika setiap orang menulis dengan memikirkan isinya dengan baik baik. Â Posisi berdiri bisa berbeda, tapi hal demikian kan sudah Sunatullah. Sudah biasa. Tak perlu dipersoalkan. Apalagi diperdebatkan dalam komentar.Â
Saya ingat ketika Kompasiana masih memiliki kolom agama. Hanya saja penghuni kolom itu lebih banyak tak beragama. Komentar dalam tulisan di kolom agama hanyalah caci maki yang menggelikan.Â