Pertama-tama yang membanggakan dari seorang Jokowi adalah anak-anaknya yang tak mau terjun ke dunia politik. Mereka menjadi pengusaha. Yang mandiri. Tak mau memanfaatkan bapaknya yang seorang presiden.Â
Tapi, entah ada bisikan apa, dari mana, oleh siapa, mendadak salah satu anaknya berbalik arah. Â Mencalonkan diri sebagai walikota Solo. Tempat Jokowi dulu memulai karier politiknya.Â
Mendadak menantunya juga mencoba peruntungan di bidang politik juga. Ini bagaimana? Ah, tapi itu kan hak mereka sebagai warga negara negeri ini.Â
Dukungan terhadap Gibran pun mengalir. Sehingga, calon yang secara historis lebih dan sudah bersusah payah membangun PDI-P di Solo pun harus menahudirikan dirinya sendiri karena memang tak mungkin mengalahkan anak presiden. Â
Kemungkinan menang Gibran besar. Tapi, apakah dukungan yang hadir merupakan dukungan tulus karena melindungi mereka prestasi dan masa depan? Masih perlu dipertanyakan.Â
Anggap saja jika partai politik pendukung Pemerintahan Jokowi terhadap Gibran, apakah tidak karena tak enak terhadap presiden? Terus ganti rugi apa yang diharapkan setelah dukungan dimenangkan?Â
Inilah makanya, secara etis seharusnya, Gibran lebih bersabar. Silakan mengurangi samudra politik setelah Pak Jokowi tak menjadi presiden. Â Semua upaya dan keberhasilan akan menjadi prestasi dirinya dan tak akan ada orang yang menganggap hanya domplengan belaka.Â
Anggaplah Gibran menang. Apakah tak akan membuat perhitungan perhitungan karena telah melakukan dukungan, di tingkat pusat? Jika mereka mendukung sukarela pun, apakah terus yang didukung merasa enak tanpa memberi balikan apa pun?Â
Ada juga calon walikota anak wakil presiden. Sesuatu yang seharusnya juga dihindari. Karena akan membuat orang tua juga serba salah.Â
Anak-anak para petinggi negeri ini harusnya lebih sabar sedikit. Karena penceburan diri mereka ke dunia politik hanya akan menjadikan buah simalakama bagi bapak bapaknya.Â
Mungkin sekali tak ada dinasti politik. Soekarno tak pernah memberikan kesempatan politik untuk putra putrinya. Megawati berjuang sendiri dengan berdarah-darah untuk menjadi seperti sekarang ini. Sedangkan generasi berikutnya, haruskah menjadi pemilik partai?Â