Lagi bikin skripsi, waktu tetangga depan rumah yang juga seorang guru menawariku menjadi pengajar di sekolah yang akan didirikannya. Â Di daerah Kalimalang, masuk gang kecil, ada gedung sekolah yang nyempil, di situlah sekolah itu akan didirikan.
Bukan cuma mengajar, karena sekolah baru bikin, kita (sebuah tim calon pengajar di sekolah itu) harus ikut berjibaku mencari muridnya juga. Â Masa iya, sekolah sudah ada gurunya yang siap mengajar, terus muridnya nggak ada? Â Kan gak lucu! Â Masa mau ngajar bangku sama meja?
Dan malam-malam, kami memasang spanduk dan tempelan-tempelan promosi sekolah. Santai-santai saja. Â Enjoy!
Ketika pendaftaran selesai, ada 20 anak yang nyangkut di sekolah baru itu. Â Jumlah itu cukup lumayan untuk sebuah sekolah baru. Â Dan, saya pun menjadi pengajar.
Karena muridnya cuma 20, kami menjadi akrab, sangat akrab. Â Apalagi, aku, waktu itu memang bener-benar masih belia. Â Ganteng pula. Â Anak-anak suka dengan guru yang gaul. Â Nyampe sekarang masih terus mencoba gaul, sih.
Ketika tiba gajian alias sebulan ngajar, ternyata uang spp dari anak-anak belum semua bayar. Â Dan, kami, para pengajar harus tetap bersabar. Â Orang sabar, pasti disayang Tuhan, mencoba menghibur diri.
Untung waktu itu, saya sudah punya mesin tik. Â Belum kebeli komputer. Â Sehingga, uang dari tulisan-tulisan sudah lumayan untuk bisa membeli nasi di warteg. Â Tak harus bergantung pada gaji sebagai guru yang masih labil. Â Belum terlihat jelas berapanya.
Tapi, karena jiwaku sudah ditempa dengan baik oleh IKIP Jakarta, yang sekarang berubah ujud menjadi UNJ, maka kami tegar setegar karang. Â Kami tetap mengajar dengan semangat yang tak pernah direndahkan hanya krena gajian. Â Idealismeku terlalu tinggi.
Itulah kerja pertamaku sebagai seorang guru.