Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Kontak saya di Instagram: @mochmad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kedamaian dan Dinamika Pendamba Sosialis-Libertarian.

3 Januari 2021   21:37 Diperbarui: 4 Maret 2021   20:01 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: M.Iqbal.M

Sesungguhnya, saya tidak ingin banyak berharap. Sebab saya tahu bahwa seringkali sebuah harapan akan menghantarkan seseorang kepada ambisi buta atas apa yang diinginkannya. Sehingga seringkali demi mewujudkan keinginannya tersebut, ia akan melakukan segala macam upaya, termasuk upaya-upaya yang tidak sehat sekalipun.

Misalnya berkompromi dengan cara-cara buruk yang tidak manusiawi. Mulai dari memanipulasi hak orang lain sampai dengan menindas orang lain. Entah itu di ranah lingkungan akademi semacam adanya ospek yang menindas dan kompetitif demi kehormatan dan ketenaran, sampai di ranah ruang-ruang kerja semacam konflik yang dibuat-buat oleh rekan kerja demi kepentingannya sendiri tanpa melakukan negosiasi sehat atau penyadaran diri (baca: diskursus konsientisasi diri dan konsensus yang lebih mendekati baik daripada voting dan inkonsientisasi). Atau bahkan di ranah medis di tengah wabah Covid-19 yang bisa di politisir demi kepentingan uang, alat kekuasaan politik, atau kepentingan tertentu lainnya.

Walaupun harapan-harapan akan “finalitas” atau "goal" yang demikian itu hanya akan membutakan kita, namun tentunya tidak menjadi masalah jika kita tetap menyusun sebuah rencana sebagai batu pijakan kita agar nantinya tidak terlalu terperosok dalam kubangan ketidak tentraman misteri masa depan. Tapi tetap dengan catatan hendaknya sebisa mungkin selalu terus-menerus merenung, berefleksi, atau mereevaluasi diri (walau dinamika hidup di abad 21 menuntut kita untuk tidak lagi mempunyai waktu untuk merenung).

Dan agar proses mengoreksi diri kita itu bisa benar-benar secara mendalam, kita haruslah terus menggali banyak pengetahuan. Misalnya belajar filsafat atau segala macam seluk-beluk aspek kehidupan, meliputi sosial, budaya, dan seterusnya. Sebab seperti kata pepatah bilang; “Giat belajar dan merenung dapat menghantarkan kita kepada kebijaksanaan, bukan sebatas kesuksesan atau kesenangan dari keriuhan kerumunan-sosial belaka”.

Dengan begitu, mungkin dunia kedepannya akan berjalan lebih santai, tentram, kondusif. Lantaran tidak lagi terlalu dikejar-kejar oleh impian-impian tentang masa depan yang akhirnya hanya membuat kita bertindak secara tergesa-gesa dan menghasilkan kekacauan-malapetaka semata. Misalnya mudah mencemooh tanpa substansi, mudah berkompetisi dan memanipulasi, atau bahkan mudah memusuhi tanpa bernegosiasi mencari jalan tengah dan saling melenyapkan hasrat-hasrat “kemewahan” di dalam diri kita sendiri.

Ya !, seperti yang saya katakan di muka. Saya tidak banyak berharap. Saya hanya sedikit ingin bermimpi jika hal-hal yang saya sebutkan itu bisa dilakukan secara serentak dalam skala besar, tanpa terpaku oleh mimpi-mimpi finalitas semacam dikotomi utopia atau distopia. Sebab skala kecil akan teramat sulit diterapkan atau dilanggengkan, lantaran berpotensi besar akan runtuh di dalam dinamika kecarut-marutan dunia yang serba absurd ini.

Saya tahu bahwa bermimpi secara “cukup klise” semacam ini mungkin akan dicemooh oleh orang-orang ultra-konservatif yang hanya bisa mencemooh tanpa substansi, serta membaca/menginterpretasikan tulisan  ini secara serampangan. Apalagi cemooh  tidak bersubstansi tersebut dilayangkan secara tersurat dan menyerang personalitas.

Seperti misalnya makian-makian (yang cukup halus) yang keluar dari mulut Pekerja atau bahkan Bos si Pekerja, dengan mengatakan; “jangan hanya bermimpi, mending kerja, kerja, kerja”  Padahal jika ditelisik secara mendalam lagi, justru slogan kerja, kerja, kerja itulah yang akan mengekalkan tradisi ketidakdamaian (baca: diskursus post-strukturalis kontemporer, dari aspek ekonomi sampai aspek budaya). Sebab jika ditelusuri atau direnungi lagi, hidup itu tidak mudah direduksi ke dalam dikotomi antara hitam atau putih saja.

Oh, bayangkan saja. Betapa indahnya jika dunia dihiasi dengan kedamaian-kedamaian tanpa keterburu-buruan. Sebuah kebebasan tanpa paksaan, meski tetap ada keterpaksaan diri atas ketidak bebasan. Seperti halnya prinsip-prinsip dasar Sosialis-Libertarian. Sosialis namun tetap Libertarian. Atau setidaknya seperti istilah Humanisme-Lentur yang dikemukakan oleh F.Budi Hadiman dalam bukunya berjudul "Humanisme dan Sesudahnya".

Kini saatnya saya menutup surat ini. Mungkin saya ingin mengutip pesan dari penggalan lirik lagu buatan John Lennon—dan mari kita semua bernyanyi bersamanya;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun