Ada sebuah peribahasa 'gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah'.
Gajah diibaratkan kekuatan kelompok politik besar, yang akan penulis sebut dalam tulisan ini adalah sang adidaya. Sedangkan pelanduk adalah nama lain dari kancil yang diibaratkan kekuatan kelompok politik kecil. Arti dari peribahasa tersebut ialah, bahwa apabila ada orang-orang berkedudukan tinggi yang menghimpunkan diri menjadi suatu kekuatan adidaya, kemudian berseteru dengan adidaya yang lain, maka yang menjadi korban adalah kelompok politik kecil (pelanduk).
Selalu ada kekuatan adidaya berkuasa yang silih berganti dari masa ke masa. Yaitu, mempunyai kekuasaan lebih di percaturan politik internasional. Baik dalam mempengaruhi peristiwa-peristiwa global, maupun lebih jauh mengambil keputusan dalam proyek-proyek internasional. Tentu dengan masa kejayaan dan keredupan yang berbeda-beda.
Ada yang lama, tetapi ada pula yang singkat waktunya. Kekuatan-kekuatan adidaya selalu berselisih dan berseteru. Bukan hanya sebatas untuk membuktikan siapa yang pantas menjadi penguasa. Tetapi terkadang juga disengaja untuk sekedar membuat sparing partner demi menguatkan motif memperebutkan kepentingan dan juga menciptakan keseimbangan.
Bentuk kekuatan adidaya berbeda-beda, tetapi tetap dalam pondasi yang sama. Yaitu, sama-sama berpondasi politik. Ada yang berbentuk partai, perusahaan, kerajaan, negara, atau koalisi partai atau negara, atau bentuk koalisi-koalisi lainnya. Semua tergantung sudut pandang dan struktur sosial yang terbentuk serta berlaku pada masa itu. Mereka saling beradu satu sama lain. Kemudian tersaring secara alami siapa yang paling kuat untuk berkuasa, sampai akhirnya menyisakan dua terbaik, untuk memperebutkan satu yang terbaik.
Persaingan adidaya bisa berbentuk kerajaan seperti Roma vs Persia pada era zaman kuno, kelompok  Fasis vs  Sekutu pada era Perang Dunia II, kubu dunia barat yang dipimpin Amerika dan sekutu NATO-nya vs dunia komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet beserta sekutu negara-negara satelit Pakta Warsawa-nya pada era Perang Dingin, dan sekarang, perang dagang antara Amerika Serikat vs Tiongkok untuk memenangkan kekuasaan atas ekonomi.
Ketika ada dua kekuatan adidaya yang berseteru, tentu selalu ada yang menjadi korban. Kekuatan adidaya selalu mempunyai daya magnet. Menarik siapa saja yang lemah dan kekuatannya berada level di bawahnya. Menggelinding seperti bola salju. Semakin ia menggelinding, maka akan semakin pula ia membesar sampai ada kekuatan yang mampu menghancurkannya. Akibat perseteruan mereka, selalu memberi imbas pada kelompok-kelompok kecil yang tidak turut ikut campur dalam permasalahan mereka.
Ketika mereka tidak ikut campur, setidaknya mereka tetap terpaksa harus mendapat dua pilihan, yaitu; pertama, menjadi pendukung salah satu. Kedua, dicampuri dalam hal politik akibat tidak mendukung salah satu atau keduanya. Antara diajak menjadi pendukung dan dicampuri, keduanya sama-sama bukanlah posisi yang menyenangkan.
Menjadi pendukung, berarti bersiap untuk dijebak dan dikendalikan secara terang-terangan dalam belenggu yang disahkan atas dasar konstitusional. Diikat dalam aturan dan janji yang mengatasnakamakan kerjasama dan hubungan Internasional. Tetapi ujungnya tetap bermuara pada keuntungan dan kelanggengan untuk menopang kekuasaan adidaya.
Dengan aturan yang mereka buat, sebenarnya tidak akan pernah ada keadilan. Kalau kita menganalogikan, seperti kerjasama pribumi masa dahulu dengan VOC Belanda. Yaitu, bentuk kerjasama yang keuntungannya besar untuk sang gajah, sedangkan si pelanduk mendapat bagian keuntungan yang sangat kecil. Tujuan utamanya adalah, dikendalikan segala kepentingan strategis yang menyangkut Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) negara pelanduk, untuk menopang kehidupan negara adidaya.