Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Percaya atau Tidak, Uang Kita Hanya Senilai Koran Bekas

19 Desember 2016   16:21 Diperbarui: 22 Oktober 2018   11:29 29238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi: smallidea.files.wordpress.com

Ilusi terbesar anak-cucu Adam pada generasi milenial ini bukan David Copperfield atau Criss Angel apalagi Deddy Corbuzier. Bahkan berabad-abad lamanya umat manusia telah hidup dalam ilusi besar ini. Ilusi tersebut dimulai sejak uang kertas dicetak. Sebuah ilusi yang mengancam karena ia menyimpan bencana, mendebat akal sehat, bahkan mendustakan kitab suci.

Yang membedakan manusia purba dan primata adalah tata cara mendapatkan makanan. Perbedaan itu semakin tampak ketika manusia mulai mengenal sistem tukar-menukar (barter). Akal dan dinamika manusia pun makin berkembang sehingga mereka butuh alat tukar yang setara mulai dari garam sampai koin emas dan perak yang kemudian disebut uang.

Mobilisasi uang pada skala besar telah ada sejak peradaban Mesopotomia 3000 SM yang selanjutnya dilengkapi kode hukum dan kontrak. Ketika uang yang digunakan memiliki nilai intrinsik atau setara dengan barang yang dipertukarkan, sebenarnya itu adalah realitas.

Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika aktivitas tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas

Mula-mula uang kertas (fiat money) yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai instrumen perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin seratus persen dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya.

Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar. Sejak ini kita mulai memasuki era ilusi karena uang-uang yang beredar tidak lagi memiliki nilai intrinsik atau setara dengan asal-usulnya.

Sang Pengelana Dunia Marcopolo dibuat tercengang ketika ia mendapati daratan Cina menggunakan uang kertas untuk menggantikan fungsi logam mulia sebagai alat transaksi. Yang dia catat kemudian, alat itu memungkinkan penguasa untuk mendapatkan semua yang berharga tanpa modal apa-apa, cukup dengan mencetak kertas.

la mulai berpikir bahwa alat itu bisa menjelma sebagai ilusi yang berbahaya. Marco Polo benar. Uang kertas memang bisa menjadi ilusi yang berbahaya di kemudian hari. Bukti-bukti itu seperti gelembung ekonomi yang pecah menjadi resesi dan krisis moneter berkepanjangan. Ketika suatu negara kolaps, tumpukan uang yang mereka simpan akan setara nilainya dengan tumpukan koran bekas.

Jauh sebelum para pedagang semasa Dinasti Tang pada abad ke-7 ramai menggunakan uang kertas, Kaisar Wu-Ti telah mencetak uang kertas. Ahli sejarah mencatat, Wu-Ti telah menggunakan uang kertas sejak abad kedua sebelum masehi. Budaya ini kemudian menyebar dan berkembang di seluruh dunia.

Dunia kemudian memasuki revolusi moneter ketika bank-bank terus tumbuh untuk mendistribusikan uang kertas – yang tanpa nilai – tersebut ke seluruh negara. Di Eropa, para pedagang baik secara individu maupun kolektif mengeluarkan semacam surat atau nota (receipts) sebagai bukti kepemilikan deposit logam berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun