Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Soeharto dan Zaman Kematian Filsafat

3 April 2021   16:38 Diperbarui: 4 April 2021   15:45 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sufisme: wordpress.com

Dari sinilah para murid Barat _tapi dengan tujuan untuk menentangnya_ ini belajar ide-ide tentang anti despotisme kerajaan, cikal-bakal liberalisme politik dan ide demokrasi, dengan tokoh-tokohnya seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesquieu, Leibniz, Voltaire, Antoine Condorcet, David Hume, JJ. Rousseau, Immanuel Kant, dan seterusnya.

Filsafat Fasisme Jepang tercoret otomatis, meski sempat singgah di Indonesia. Aliran Fasis-Militerisme ini bukan ajaran Mussolini atau Nietzsche tapi berasal dari Bushido warisan kaum Samurai. Lagi pula Fasisme memang tidak layak diadopsi sekaligus tidak relevan.

Ketika jadi presiden, Soekarno menawarkan dialektika Demokrasi Terpimpin yang dinilai sesuai dengan kultur Indonesia, lalu proposal tentang Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunisme). Namun gagasan ini tidak selesai, menyusul karir politik Soekarno yang segera tamat.

Ia terjepit ketika filsafat Marhainisme-nya tampak sebahu dan lalu hanya condong ke komunisme gagasan Marx. Ia digantikan oleh Soeharto yang pragmatis, dan oleh sejumlah kalangan dicap anti filsafat.

Soeharto menyetop semua gagasan filsafat Barat yang berpotensi subversif, tapi menarik kuat-kuat modal investasi dari kantung mereka. Untuk ekonomi Indonesia yang sedang collaps ketika itu, Soeharto adalah sang Bapak Pembangunan. Tapi saat bersamaan filsafat sedang melewati era vakum.

Pancasila sebagai deorama filsafat dunia, di bawah "stabilitas politik" Soeharto mengalami pendangkalan bukan main, hanya berakhir sebagai hapalan dan etika keseharian.

Tinjau: Tiap Sila dalam Pancasila Berpotensi Saling Meniadakan

Menurut Ferry Hidayat dalam Sketsa Sejarah Filsafat Indonesia, pendangkalan itu dapat dijejak dalam Buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila) dan buku teks penataran P4 (Pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Buku yang diajarkan pada mahasiswa baru ini dinilai mereduksi makna awal 'Pancasila' yang dulu dirumuskan para founding fathers Indonesia dengan pernak-pernik yang progresif dan revolusioner menjadi hanya serpihan-serpihan kecil etiket sehari-hari yang pasif dan frigid.

Di era Soeharto filsafat dianggap telah mati, kecuali hanya beberapa filosof teoritis. Yang agak menonjol dan mirip kaum sufisme pelat merah zaman kerajaan adalah Nurcholish Madjid.

Ia menggagas filsafat sekularistik. Filsafat ini memisahkan antara transendental dan temporal. Tuhan dan agama masuk dalam domain transendental, sedangkan dunia adalah wilayah temporal. Sehingga agama hanya menjadi urusan rakyat, dan negara menjadi urusan Soeharto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun