Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Matinya Ilmu Sejarah

19 November 2017   16:14 Diperbarui: 1 Maret 2021   17:54 2850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://vampiretravels.files.wordpress.com

Tepat ketika Web mulai berubah menjadi platform untuk berkontribusi dan berkolaborasi, Mark Zuckerberg masuk Harvard University. Beberapa pekan setelah lulus ujian tentang Kaisar Agustus di Roma, Zuckerberg  meluncurkan Facebook dari asrama mahasiswanya, Februari 2004.

Ia pindah ke California pada musim panas itu, niatnya semula akan kembali ke Harvard untuk menuntaskan studinya pada ilmu komputer, tapi ternyata ia berhenti kuliah untuk menjadi CEO penuh waktu Facebook, jejaring sosial yang sejak awal dikenal tampil beda untuk sesama teman.  Karena ia telah berbeda dengan MySpace misalnya, tempat kita terhubung dengan komunitas sesama anonim dan menyebut diri sebagai Mooselips atau Cyberchic. 

Facebook dirancang sebagai sebuah ruang maya yang memungkinkan bahkan mengharuskan kita menjadi diri sendiri, orang yang sejati dan merasa bebas untuk berbicara dengan teman dekat hingga ke lingkaran pertemanan yang lebih lebar. Laman ini murni digagas untuk di antara teman saling berangkulan dan menambah teman baru sesuai ketertarikan chemistry. Facebook tidak crowded seperti sekarang, ia digagas dengan penuh senyum dan bersahabat, seperti kata Technopreneur Erin Lewis: reuni SMA saya terjadi di Facebook. Sepanjang hari. Setiap hari.

Di belakang Facebook ada Twitter sebagai jejaring sosial dan mikroblog daring yang memungkinkan penggunanya untuk berkicau dalam batas 140 karakter. Lagi - lagi tercipta dari tangan dingin seorang mahasiswa, Jack Dorsey, Maret 2006. Ia terinspirasi oleh Flickr dan kode singkat SMS Amerika yang jumlahnya lima digit. Gagasan awal Twitter lebih sederhana lagi. "Kami memilih kata 'twitter', dan itu sempurna. Defenisinya adalah ledakan singkat informasi tidak penting, dan celotehan burung. Dan seperti itulah tepatnya produk ini," kata Dorsey.

Yang paling bungsu dan paling unyu - setidaknya - dialah si Instagram. Lahir untuk dipersembahkan kepada jemaah Narcissistic yang mengejar kepuasan dari kekaguman egotistik. Instagram adalah sebuah aplikasi berbagi foto yang memungkinkan pengguna mengambil foto, menerapkan filter digital, dan membagikannya ke berbagai layanan jejaring sosial, termasuk milik Instagram sendiri. Lahir dari rahim perusahaan digital bernama Burbn, Inc, Oktober 2010, yang kemudian dijadikan anak angkat oleh Zuckerberg.

Apa yang terjadi di kemudian hari adalah jejaring sosial itu menampilkan wajah multi. Buku wajah pada Facebook halamannya sudah aneka rupa, tidak hanya didesakkan lini pertemanan lebih dari dua dua miliar penggunanya, juga tempat tumpah ruah segala - gala. Ia telah berisi berbagai - bagai dimensi mulai dari ideologi, ekonomi, politik, sosial, budaya, dan seolah semua yang bernyawa dan benda - benda mati harus sudah ada di Facebook sebelum Sangkakala ditiup. Lebih serius lagi Facebook menjadi tempat mendebatkan surga, neraka, kiamat dan orang - orang berbicara kepada Tuhannya dengan keypad, tanpa perlu bersusah - susah memanjat Bukit Thur seperti Musa.

Lewat Facebook warganet juga bercakap kepada benda mati, hewan, tumbuhan, bayi, presiden, menteri-menteri, dukun beranak, dan manusia-manusia yang sudah wafat seribu tahun lalu atau kemarin sore. Sekelompok orang setiap hari mengumpat lawan politiknya dengan penuh dengusan kebencian. Ada pula yang setiap saat mengunggah foto wajahnya, sehingga secara keseluruhan di masa depan proses penuaan pada wajahnya akan terlihat sangat detil tanpa perlu meminjam - dan tentu saja mengalahkan - aplikasi AgingBooth.

Dan yang paling kurang ajar daripada menghardik dan menyebar hoax di Facebook adalah seorang bapak yang menampilkan secara live detik-detik dia menggantung tubuh anaknya dengan tali. Tak lama setelah anaknya meregang nyawa, ia menggantung dirinya sendiri di sebelah jasad anaknya yang masih tergantung. Tontonan sadis yang disiarkannya kepada dunia dari sebuah bangunan tak terpakai di daerah Sakoo, Pantai Nai Thon, Thailand ini berhasil membuat Zuckerberg - yang koceknya telah berisi Rp 649,5 triliun dari Facebook itu - menitikkan air mata.

Apa yang terjadi di laman Facebook, Twitter, Instagram dan semua jejaring sosial serta ruang baca berbasis web adalah sejarah bagi masa depan. Zaman Milenial atau apa yang melampaui zaman ini di masa hadapan adalah tentang manusia yang membaca teks sejarah dengan sekali ketukan pada layar gadget atau tanpa benda padat apapun dengan sesuatu yang dipanggil: layar virtual.

Ketika sejarah tidak lagi digali, dijahit atau terpilah-pilah secara parsial dan disajikan dalam narasi akademis, ketika itulah ilmu sejarah telah mati. Sejarah atau historia hari ini berarti catatan peristiwa yang diperoleh melalui penelitian dan studi tentang masa lalu dan bersifat faktual terutama tentang raja - raja dan silsilahnya, kronologi kejadian - kejadian besar yang terbatas dan kadang bias, maka di masa depan ia adalah teks, suara, video, sketsa, grafis dan visualisasi imajiner yang mampu menjangkau semua elemen manusia, mulai dari menara gading sampai akar rumput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun