Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tiang Listrik Amnesia

18 November 2017   13:18 Diperbarui: 20 November 2017   23:35 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: http://www.changethethought.com)

Frekuensi yang digunakan televisi adalah sumber daya alam yang mahal dan terbatas. Ia adalah bagian dari kekayaan udara, di samping spektrum lainnya yang penting untuk manusia yakni oksigen dan karbon. Frekuensi adalah harta rakyat Indonesia yang harusnya digunakan bagi kemakmuran bersama.

Televisi bukan hanya turunan kotak arkais yang dipuja generasi Baby Boomer era Perang Dingin, sekaligus tak diacuhkan jemaah Net Gener, berikut anak - anak milenial yang menyimpan dunia dan rahasia mereka pada layar - layar sentuh, televisi juga berperan sebagai arena pembodohan (dumbing down) untuk memenuhi kenaifan budaya populer.

Sengaja atau tidak, sadar atau tidak, televisi Indonesia terus aktif melakukan pengurangan tingkat intelektual. Praktik pembodohan biasanya menggunakan penyederhanaan yang berlebihan terhadap definisi aslinya sampai kepada tingkat yang merusak konsep standar dari bahasa dan pembelajaran masyarakat.

Seperti kata John Algeo dalam Among the New Words, tingginya tingkat persaingan media massa (utamanya televisi), dan penggunaan metode ekonometrika telah mengubah praktik bisnis dari media komunikasi massa. Praktik tersebut telah mengurangi keluasan dan kedalaman dari jurnalisme dan produk siaran yang dilakukan dan disediakan untuk informasi publik serta  hiburan.

Sumber daya alam yang mahal yang kemudian dipinjamkan kepada industri televisi, dihabiskan bertahun - tahun hanya untuk sesuatu yang leceh semacam mengintip kamar mandi atau kain jemuran milik Nagita Slavina dan Raffi Ahmad. Televisi juga membingkai dan memberi panggung kepada para pemain sirkus politik. Televisi juga menjadi podium yang dipaksakan oleh pemiliknya. Mereka bertetangga dengan televisi lain yang meminjam sumber daya alam mewah milik publik ini untuk menayangkan sinema elektronik (sinetron) kejar tayang dengan kualitas minimalis dan membantai akal sehat.

Demi memungut pundi -pundi iklan yang terikat rating dari cerminan perangai penganut Budaya Pop yang tak ambil pusing dengan kualitas dan pentingnya tanggung jawab moral sebuah pertelevisian, para pelaku rumah produksi yang disewa televisi - misalnya penulis skenerio dan sutradara - membuat metode pendangkalan standar budaya, seni, dan akademis. Bisa karena malas atau sama sekali tak punya senseuntuk membuat kerja - kerja sinematografi yang layak, paling tidak masuk akal.

Alur drama pada sinetron Indonesia pun umumnya seragam, bertema putra putri yang tertukar dengan mudahnya, metafora bawang putih dan merah, sengketa warisan, percintaan antara pelayan dan tuan, serta akhir kisah yang mudah ditebak. Gestur, mimik dan diksi yang dibawakan hampir serupa untuk semua sinetron ditambah properti, efek latar dan teknologi visual yang tak memanjakan mata, kecuali dari pelakon - pelakon instan berwajah Western dan Korea.

Sinetron Indonesia secara seragam pula menebarkan lakon - lakon absurd dan kesan dramatik yang dipaksakan. Skenerio demi skenerio disambung dengan fase amnesia. Amnesia bahkan menjadi babakan wajib sinetron apapun, tidak hanya manusia hidup, arwah penasaran pun ada amnesianya. (Lihat sinetron berjudul DIA produksi SinemArt yang ditayangkan di SCTV baru-baru ini)

Jika dalam film India, bujang atau dara yang mabuk kepayang langsung bernyanyi jika melihat pohon, maka di sinetron Indonesia, seseorang langsung hilang ingatan jika terbentur atau membentur. Apakah karena menyeberang jalan, terkena batu di sungai atau menabrak tiang listrik. Selembut apapun benturan yang terjadi amnesia adalah takdir yang harus dijalani.

Sinetron bahkan menjadi candu, seleceh dan seberani apapun mereka menihilkan estetika dan logika, mereka tetap menjadi kudapan wajib, ditonton berjuta - juta orang. Pelan - pelan pola hidup dan absurditas sinetron mengendap di bawah sadar sehingga ingin dijelmakan ke dunia nyata.

Amnesia dalam kisah sinetron berfungsi untuk membelokkan alur cerita, menciptakan solusi atau memperpanjang durasi. Bayangkan jika amnesia bisa diciptakan semudah sinetron, tanpa cacat permanen, tanpa tetesan darah dan akan segera membaik, maka habislah perkara. Seseorang yang menderita amnesia akan diperlakukan seperti anak manusia yang baru terlahir, meski sejarah hidupnya akhir - akhir ini adalah dramatisasi sekelas sinetron untuk menjauh dari palu hakim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun