Mohon tunggu...
Mukhotib MD
Mukhotib MD Mohon Tunggu... Penulis - consultant, writer, citizen journalist

Mendirikan Kantor Berita Swaranusa (2008) dan menerbitkan Tabloid PAUD (2015). Menulis Novel "Kliwon, Perjalanan Seorang Saya", "Air Mata Terakhir", dan "Prahara Cinta di Pesantren."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Posisi Perempuan Disabilitas dalam Gerakan Perempuan Indonesia

6 April 2017   11:19 Diperbarui: 26 Mei 2018   13:45 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber Foto: ppdi.or.id)

Meski, perempuan disabilitas memiliki kebutuhan mendefinisikan diri mereka sendiri, tetap saja mereka berada di pinggiran dari gerakan keadilan sosial, bahkan dari gerakan yang mengatasnamakan diri mereka—gerakan perempuan, gerakan hak-hak orang dengan disabilitas, dan gerakan hak-hak sipil—meninggalkan perempuan dan anak perempuan disabilitas dari semua latar belakang yang tak terlihat secara esensial.”

(Rosemarie Garland-Thomson dan Barbara Faye Waxman Fiduccia)

Kutipan di atas menunjukkan dengan gamblang, posisi perempuan dengan disabilitas dalam peta gerakan sosial dan gerakan perempuan. Secara terang benderang melahirkan kesadaran baru: tak tepat benar sekiranya melakukan pengarusutamaan gender dalam kerangka kerja analisis teori feminis tanpa disabilitas, yang mendasarkan gerakan dan kerangka analisisnya pada ketertindasan perempuan tanpa disabilitas.

Pemikiran ini mengantarkan pada kesadaran kritis dan empiris, ketertindasan sosial perempuan tanpa disabilitas memang berbeda dengan pengalaman ketertindasan perempuan dengan disabilitas. Dengan kata lain, perempuan dengan disabilitas memiliki pengalaman ketertindasannya sendiri, lebih kompleks dan berlapis ketimbang pengalaman ketertindasan perempuan tanpa disabilitas.

Ketertindasan perempuan dengan disabilitas terjadi karena ide-ide budaya mengenai tubuh, ragam ketubuhan, dan abnormalitas dalam kehidupan sosial. Pandangan ini membawa pemahaman mendalam dan meyakinkan, ketertindasan perempuan dengan disabilitas memang berbasis pada tubuhnya.

Perbedaan pengalaman ketertindasan, menjadikan ranah gerakan ideologis pun menjadi berbeda. Kritik ideologis para feminis tanpa disabilitas diarahkan pada peran tradisional gender yang dibakukan secara budaya terhadap perempuan, dan melahirkan diskriminasi dan halangan pada wilayah publik, termasuk politik dan ekonomi.

Bagi feminis dengan disabilitas, kritik ideologis diarahkan pada pelabelan tubuh yang dianggap abnormal, tidak sesuai penggambaran sosial mengenai tubuh, politik penampilan, medikalisasi tubuh. Nilai-nilai ini melahirkan berbagai diskriminasi tidak saja peran publiknya, melainkan juga halangan-halangan dalam peran domestiknya.

Feminis tanpa disabilitas menolak keras diskriminasi akibat pelabelan peran domestik—merawat rumah tangga, mengasuh anak—yang dibakukan sebagai kewajiban perempuan, sebab laki-laki memiliki tanggung jawab yang sama.

Tidak demikian bagi perempuan dengan disabilitas. Mereka memperjuangkan haknya pada wilayah domestik, sebab secara sosial dan budaya diragukan bisa menjadi ibu—merawat rumah tangga dan membesarkan anak-anak mereka—bahkan sebagian dari mereka dipaksa-pisahkan dari anak-anaknya. Perempuan dengan disabilitas harus berjuang melawan beragam stigma dan diskriminasi yang meragukan keibuannya.

Gerakan feminis disabilitas melakukan kritik terhadap sistem representasi dalam kehidupan sosial. Tubuh menurut feminis disabilitas menjadi salah satu bentuk representasi sosial. Representasi tubuh orang dengan disabilitas dianggap menyimpang dari pemaknaan budaya dan sosial mengenai tubuh perempuan. Kondisi tubuh mereka didefinisikan bertentangan dengan norma yang menuntut perempuan memiliki kekuatan fisik sekaligus keindahan. Dalam budaya patriarkhi, perempuan tanpa disabilitas dianggap menggairahkan pandangan laki-laki, dan perempuan dengan disabilitas merusak keindahan pandangan laki-laki.

Tekanan terhadap tubuh perempuan dengan disabilitas menjadi sangat keras dalam kehidupan sosial. Kontrol atas tubuh perempuan orang dengan dissbilitas terus dilakukan agar memenuhi standard normatif yang dikehendaki kebudayaan dominan. Perempuan dengan disabilitas diperangkap masuk dalam politik medikalisasi yang berpijak pada imajinasi tubuh disabilitas abnormal secara medis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun