"Kalian tiak boleh malas membaca." Kalimat bernada marah tetapi nyaris penuh kebenaran itu masih selalu teringat sampai kini. Itulah kalimat dari Aris Munandar, guru Bahasa Indonesia ketika saya masih belajar di Pesantren. Â Orangnya sungguh nyentrik, humoris, dan pandai memainkan gitar.
Ia lalu meminta murid-murid membaca puisi berjudul "Aku", karya Chairil Anwar secara bersama-sama. Seingat saya, ia meminta membaca tiga kali. Untuk bacaan yang ketiga sudah awur-awuran, saling balap dan saling kejar. Kelas menjadi kacau. Aris bertepuk tangan, ia membentak keras, lalu memukul meja dengan sapu. Â Namun, bibirnya menebar senyum.
Standar saja Aris menjelaskan siapa itu Chairil Anwar. Seorang pelopor Angkatan 45, yang membawa nafas perubahan dalam jagad puisi di tanah air. Ia berasal dari Sumatra Barat, Aris menjelaskan nama provinsinya, mungkin karena ia tak kenal juga asal daerah kabupatennya, apalagi kecamatan dan desanya. "Sayang ia mati muda. Mati di usia 26 tahun. Sangat muda," katanya lirih.
Chairil Anwar telah melahirkan karya puisi, misalnya, Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949), Deru Campur Debu (1949), dan Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani [1950].
Sungguh ketika itu saya tak paham benar apa hubungannya antara penyair dan kematian di usia muda. Sebab, saya juga enggak paham apa yang dibicarakan Aris mengenai pelopor Angkatan 45, dan perubahan dalam dunia perpuisian di Indonesia. Saya hanya hafalan, puisi yang berjudul 'Karawang Bekasi' saya hafal di luar kepala, dan beberapa sajaknya yang lain. Hanya saja sedikit makna yang diajarkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di waktu itu.
Meski begitu, Aris mengajari saya menulis sajak, "rimanya boleh aa bb aa bb atau aa bb aa bb."
Saya mengikuti dengan sungguh-sungguh proses belajar menulis puisi ini, dengan terus membaca puisi-puisi Chairil Anwar dari Aris Munandar.
Namun, kemampuan imajinasi saya sungguh buruk. Betapa sulitnya memilih diksi yang tepat untuk mengungkapkan gagasan dan perasaan. Tak semudah ketika Aris mencontohkan. Saya selalu merasa buntu, dengan hasil yang kaku. Hanya bergenit ria dengan permainan kata. Tetapi sungguh kering kosong dan hampa.
Setelah menghasilkan beberapa biji puisi dan dimuat di koran lokal, saya frustasi. Saya mendekati putus asa. Chairil Anwar hanya tinggal potonya yang saya pajang di kamar asrama: foto sambil merokok.
Di tengah-tengah keputusasaan itu Aris mengajakku menulis soal kelinci Australia. Katanya mau dikirim ke majalah yang diterbitkan sebuah NGO (Non-Goverment Organization) di Jakarta. Seperti seorang asisten saja, saya mendampingi Aris melakukan wawancara, dan saya mengambil foto-foto: foto Aris dan foto kelinci Australia.