Mohon tunggu...
M Kabul Budiono
M Kabul Budiono Mohon Tunggu... Old journalism never dies

Memulai karir dan mengakhirinya sebagai angkasawan RRI. Masih secara reguler menulis komentar luar negeri di RRI World Service - Voice of Indonesia. Bergabung di Kompasiana sejak Juli 2010 karena ingin memperbanyak teman dan bertukar pikiran...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

M Nazarudin Tidak Suka Naik Rakit, Maunya Langsung ke Tepian?

18 Juli 2011   08:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:35 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13109775461241722671

[caption id="attachment_120204" align="alignleft" width="300" caption="diambil dari < zianxfly.blogspot.com >"][/caption] ‎" Berakit rakit ke hulu, berenang ke tepian. Bersakit sakit dahulu, bersenang-senang kemudian " Masihkah berlaku saat ini ?.

Demikian status yang saya tulis di jejaring sosial FB dan serta merta mendapat komentar cukup ramai dari teman teman. Berikut adalah beberapa di antaranya yang saya kutip apa adanya :

‘ Tdk mas, langsung tancap gas, klo ketahuan baru sakit n masuk bui, trus naik rakit. Wkwkwk ‘.

‘ Mas Kabul, pola pikir pragmatis bunyinya beda Mas: "Muda hura-hura, tua kaya raya, mati masuk surga atau neraka". Gak tahu lah...’

‘ Sekarang dibalik mas, beramai-ramai korupsi lebih dahulu, berbondong-bondong masuk bui belakangan.’

‘ Zaman sekarang sepertinya senang duluan pak baru bersakit sakit,...seperti Nazarudin jd buronan,...ha ha PIZ’.

Ungkapan itu sesungguhnya merupakan ‘pantun nasihat’. Dengan ungkapan itu, orang orang tua di ‘djaman doeloe’ ingin mengingatkan generasi berikutnya, agar menjadikan kerja keras sebagai upaya memperoleh hasil. Kerja keras yang dilakukan tentu didasarkan niat baik, sehingga hasilnya kemudian adalah sukses baik pula. Artinya kerjan keras disertai niat yang ikhlas. Lantas apakah etos sebagaimana yang dicerminkan dari pantun itu masih ada dalam kehidupan sosial dan berbangsa, sekarang ? Atas pertanyaan ini, beberapa teman saya memberikan pendapatnya, termasuk mencontohkan apa yang dilakukan dan dialami M Nazarudin.

Dari berbagai pemberitaan, ketahuan, bahwa yang bersangkutan ‘mengabaikan’ prinsip bersakit sakit, dalam mencapai kedudukan. Ada kebaikan yang ia nafikan. Ada prinsip kebenaran yang ia abaikan. Ia boleh jadi termasuk apa yang ditulis seorang teman FB saya “ Muda hura huram tua kaya rayam mati masuk surga atau neraka “. Karena itu ia termasuk yang ‘menghalalkan segala cara’ untuk mencapai tujuan atau mewujudkan impiannya. Celakanya, karena begitu cepat ia mendaki,. begitu cepat pula ia menukik turun. Ia tidak hanya dipecat dari jabatan bendahara umum partainya, tetapi juga dipecat dari keanggotaan DPRnya, serta dari partainya.

Secara empirik gejala ‘jalan pintas’ memang dapat dijumpai sebagai gejala sosial. Coba lihat di lingkungan kita. Berapa banyak anak anak di bawah usia 17 tahun yang dengan bebas mengendarai sepeda motor, atau bahkan mobil. Sebagian di antara mereka sudah mempunyai SIM C atau A. Dari mana mereka dapat ? Sebagian adalah berkat peran serta orang tua. Orang tua yang ‘latah’ dan merasa bangga anak anaknya dapat naik sepeda motor atau mobil sebelum masanya, dengan sengaja ada yang memalsu tahun kelahiran anaknya. Kemudian ada juga yang ‘memberikan uang ala kadarnya’ kepada petugas, sehingga anaknya tidak perlu ikut ujian praktek. Rasanya analogi mengenai hal ini juga berlaku di dunia politik atau dalam tubuh Partai Politik.

Kita sering merasa senang diberi ‘amplop’ atau ‘ hadiah’ oleh seorang kandidat atau calon anggota legislatif dengan janji untuk memilih yang bersangkutan. Padahal masyarakat tahu, si calon itu adalah orang baru yang awam dalam politik. Jadi ada sikap permisif dalam diri kita, dalam masyarakat kita yang mendorong lahirnya manusia atau generasi instant di segala lini kehidupan, termasuk politik.

Jika ternyata semakin banyakmanusia Indonesia yang berusaha melakukan jalan pintas untuk mewujudkan impiannya sendiri, atau membantu orang lain mewujudkan impian dengan cara tidak semestinya, maka saya khawatir tumpah darah kita ini, jangan jangan tidak bakal mewujud sebagaisebuah negeri yang diridhoi atau baldatuntoyibatun warrabbun ghafur.

Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun