Oleh Muhammad JulijantoÂ
Ketika aku masih kecil di kampung halaman saya selalu memanfaatkan Ramadan menjadi momentum yang bahagia, bisa berkumpul bermain dengan teman sebaya.
Kita berjalan setelah Salat Subuh di pematang sawah, Â melihat pemandangan berjalan bersama-sama teman-teman setelah Kuliah Subuh di SD Muhammadiyah Argasoka Banjarnegara, di mana dari rumah ke SD tempat pengajian berlangsung kurang lebih satu setengah kilometer berjalan kaki di tengah gelap pagi dan dinginnya udara pagi yang menusuk pori-pori.Â
Pada saat itu polusi udara belum terlalu banyak, bahkan tidak ada polusi, karena orang satu kampung yang punya kendaraan bisa dihitung dengan jari tangan.Â
Sehingga udara sejuk pagi sangat luar biasa begitu selesai Salat Subuh rombongan anak-anak kecil berhamburan saling lari dan kejar untuk buruan sampai di tempat Kuliah Subuh di shof atau barisan depan yang langsung bisa menyaksikan dari dekat narasumber penceramah yang berasal dari ibukota kabupaten.
Para penceramah dari kabupaten menyajikan berbagai macam tema dan topik yang dibahas dan ada yang serius, Â ada yang lucu, banyak puisi, banyak nyanyian yang dibawakan dan banyak nilai-nilai yang mereka tanamkan yang bersumber dari ajaran Alquran dan As-sunnah serta kisah-kisah teladan dari para Salafus Shalih yang dibawakan oleh para penceramah.
Bagi anak desa pengetahuan yang disampaikan oleh para penceramah dari kota merupakan sesuatu pengetahuan yang satu-satunya menjadi sumber referensi dalam keberagaman yang kami jalani pada saat itu.
Tahun 1980an, Â tahun tersebut kondisi desa atau Kampung masih cukup gelap gulita karena penerangan yang ada menerangi Kampung kami hanya listrik yang berasal dari Diesel yang dihubungkan di tengah-tengah kampung sehingga akses penerangannya sangat terbatas di titik-titik tempat tertentu. Perusahaan Listrik Negara (PLN) masih absen belum hadir berikan layanan penerangan umum.
Pengetahuan yang diperoleh dari penceramah Kabupaten memberikan pengetahuan yang genuine terhadap keagamaan yang saat itu teknologi internet belum ada komunikasi hanya melalui radio HT yang dihubungkan dengan kabel dari kampung satu dengan kampung yang lain dan undangan pengajian disampaikan secara tertulis yang disampaikan dengan pesan berantai dari takmir Masjid satu ke takmir masjid berikutnya sehingga informasi ini sampai kepada jamaah.
Saat itu jurnal Ramadan belum secanggih saat ini yaitu ada buku khusus yang diberikan kolom-kolom bagi siswa SD dan SMP untuk membuat suatu resume dari pidato atau ceramah para narasumber dari berbagai daerah.