Belakangan ini, topik childfree kembali menghiasi linimasa media sosial, artikel berita, hingga konten-konten YouTube populer. Sebuah wawancara di kanal Deddy Corbuzier misalnya, menampilkan pasangan muda yang dengan tegas menyatakan bahwa mereka memilih untuk tidak memiliki anak. Respons publik? Seperti biasa: ramai, pro dan kontra, bahkan tak sedikit yang berubah jadi debat panas dengan bumbu emosional.
Saya, sebagai bagian dari generasi yang tumbuh di tengah transisi nilai---antara ajaran keluarga tradisional dan dorongan modernitas---merasa perlu menyelami isu ini lebih dalam. Childfree bukan lagi sekadar pilihan yang eksklusif di kalangan minoritas liberal perkotaan. Fenomena ini berkembang secara global dan kini mulai punya tempat di Indonesia, meski belum sepenuhnya diterima secara sosial.
Sebagai orang yang suka membaca perspektif sosial, saya teringat pada teori Anthony Giddens, sosiolog asal Inggris, yang bicara soal refleksivitas dalam modernitas. Giddens berargumen bahwa di era modern, individu tidak lagi hanya menerima identitas yang diwariskan dari keluarga atau masyarakat. Identitas kini adalah proyek yang "dibentuk", bukan "diberikan". Maka pilihan untuk menikah atau tidak, punya anak atau tidak, semuanya menjadi bagian dari identitas yang terus-menerus dinegosiasikan.
Fenomena childfree adalah salah satu contoh dari refleksivitas ini. Di tengah gempuran arus informasi, ketidakpastian ekonomi, dan tekanan sosial, banyak orang mulai mempertanyakan ulang hal-hal yang dulu dianggap pasti. Punya anak, yang dulunya adalah "keharusan", kini menjadi pilihan---dan bagi sebagian orang, pilihan itu adalah "tidak".
Menurut data dari Pew Research Center (2021), sebanyak 44% orang dewasa di AS yang belum memiliki anak menyatakan bahwa mereka tidak berencana untuk memiliki anak di masa depan. Alasan utamanya? Kekhawatiran soal perubahan iklim, ketidakpastian ekonomi, hingga kelelahan mental. Fenomena serupa, meski belum banyak dikaji di Indonesia, sudah mulai terasa gaungnya, terutama di kota-kota besar.
Saya pernah bertanya ke seorang teman yang juga menyatakan dirinya childfree. Katanya, "Dunia ini makin sulit. Harga rumah mahal, pekerjaan tidak stabil, dan kami merasa tidak punya kapasitas emosional untuk membesarkan anak." Pernyataannya terdengar rasional, walau tetap terasa getir. Lalu, muncul pertanyaan penting: apakah keputusan untuk childfree adalah bentuk kesadaran yang matang, atau sebenarnya cerminan dari sistem sosial yang gagal memberi rasa aman pada generasi mudanya?
Dari perspektif Emile Durkheim, kita bisa melihat ini sebagai bentuk pergeseran solidaritas sosial. Durkheim membedakan antara solidaritas mekanik---di mana masyarakat terikat oleh kesamaan dan tradisi---dan solidaritas organik yang tumbuh karena diferensiasi peran dan pilihan individu. Nah, masyarakat kita yang dulu sangat "mekanik" mulai berubah jadi "organik", meskipun tidak semua siap menghadapi konsekuensinya.
Di sisi lain, tentu saja keputusan childfree tetap menimbulkan ketegangan. Bagi masyarakat yang masih sangat menjunjung nilai keluarga tradisional, keputusan ini dianggap menyimpang. Tidak heran jika banyak yang menyebutnya sebagai bentuk egoisme atau "melawan kodrat".
Banyak pihak menuding bahwa mereka yang childfree adalah generasi egois. Tapi benarkah begitu? Jika kita jujur melihat realitas saat ini---biaya hidup tinggi, krisis iklim, konflik global, dan tekanan kerja yang tak kunjung reda---maka keputusan untuk tidak memiliki anak justru bisa jadi bentuk tanggung jawab.
Di sisi lain, ada pula yang tetap memandang keluarga sebagai bagian penting dari kehidupan yang utuh. Dalam budaya kita, anak adalah "investasi akhirat", penerus, dan sumber kebahagiaan. Tapi bagaimana jika kebahagiaan itu justru terletak pada kebebasan menentukan arah hidup tanpa harus mengemban ekspektasi sosial?
Saya pribadi masih percaya bahwa anak adalah anugerah. Btw, anak saya sudah dua, saya sangat bersyukur dan sangat mencintai mereka. Tapi saya juga mulai mengerti, bahwa tidak semua orang punya kapasitas---secara ekonomi, mental, bahkan spiritual---untuk menjadi orang tua yang baik. Dan bukankah itu justru bentuk empati yang patut dihargai?