Di Indonesia, Upah Minimum Regional (UMR) telah menjadi acuan utama dalam mengukur kelayakan penghasilan seorang pekerja.Â
Namun kenyataannya, UMR bukanlah ukuran layak untuk hidup, melainkan hanya patokan paling dasar agar seseorang bisa tetap bertahan.Â
Terutama di kota-kota besar, UMR justru menunjukkan jurang lebar antara harapan dan kenyataan.Â
Setiap tahun memang ada kenaikan UMR, namun angka tersebut hampir selalu tertinggal jauh dibanding lonjakan biaya hidup yang terus melambung.
Sewa tempat tinggal, harga bahan pokok, transportasi, hingga biaya listrik dan internet terus mengalami kenaikan.Â
Di sisi lain, kenaikan gaji berdasarkan UMR hanya berkisar 4-6 persen per tahun, angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harga beras yang bisa mencapai 10-15 persen, atau sewa kos yang bisa melonjak 20 persen dalam satu tahun.Â
Akibatnya, daya beli masyarakat pekerja terus melemah dan mereka semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar tanpa harus berutang atau mengorbankan hal-hal penting lainnya.
UMR dan Realitas Kota Besar: Bertahan dengan Separuh Gaji
Tinggal di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung menjadi tantangan tersendiri bagi pekerja bergaji UMR.Â
Biaya hidup yang tinggi membuat pengeluaran pokok bisa menyedot lebih dari separuh penghasilan bulanan. Biaya sewa kamar kos sederhana di kawasan urban bisa mencapai 1,5 juta hingga 2 juta rupiah per bulan.Â
Jika gaji UMR Jakarta pada 2025 ada di kisaran 5 juta rupiah, maka hanya dengan membayar sewa, pekerja sudah kehilangan 30 hingga 40 persen penghasilannya.