Belum lagi jika harus menanggung tanggungan keluarga baik pasangan, anak, orang tua, maupun adik yang masih sekolah.Â
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa gaji UMR yang seharusnya hanya mencukupi untuk satu individu, sering kali harus dibagi untuk menafkahi tiga atau empat orang sekaligus.Â
Ini menciptakan tekanan psikologis dan ekonomi yang luar biasa. Beban ini tidak hanya bersifat material, tetapi juga emosional karena banyak pekerja merasa bersalah jika tidak bisa memenuhi ekspektasi keluarga.
Ilusi Kenaikan Gaji: Angka yang Naik, Nilai yang Tetap
Ketika UMR naik, secara teknis angka penghasilan memang meningkat. Namun dalam praktiknya, nilai riil dari gaji tersebut tidak bertambah. Ini adalah ilusi kenaikan gaji, upah naik, tapi daya beli menurun.Â
Jika kenaikan UMR hanya 5 persen, tetapi inflasi bahan pokok dan biaya hidup mencapai 10 persen, maka pekerja justru mengalami penurunan kemampuan ekonomi.Â
Ini menyebabkan banyak pekerja yang tetap hidup dari gaji ke gaji, tanpa ada ruang untuk menabung, berinvestasi, apalagi menikmati hidup.
Selain itu, sistem penentuan UMR sering kali lebih berpihak kepada pemilik modal daripada kesejahteraan buruh. Pemerintah berada di antara tekanan buruh dan kekhawatiran akan merosotnya iklim investasi.Â
Akibatnya, kompromi yang diambil sering kali tidak cukup progresif untuk menjawab kebutuhan riil para pekerja. UMR lebih sering dijadikan alat pembatas tuntutan, bukan jaminan kehidupan yang layak.
Kontrak Pendek dan Outsourcing: Hidup dalam Ketidakpastian
Masalah UMR tidak bisa dilepaskan dari sistem ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia, terutama maraknya kontrak pendek dan outsourcing.Â
Pekerja sektor retail, manufaktur, perhotelan, dan banyak sektor informal lainnya sering kali terikat kontrak 6 bulan hingga 1 tahun tanpa jaminan kelanjutan.Â
Tidak ada kepastian pekerjaan, tidak ada kepastian kenaikan gaji, dan sering kali tidak ada hak atas cuti, jaminan kesehatan, atau pesangon.