Korupsi adalah salah satu masalah paling serius yang menghambat kemajuan bangsa. Ia bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan publik. Setiap rupiah yang dikorupsi sejatinya adalah hak rakyat yang dirampas, dana yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dampak korupsi tidak hanya bersifat material, tetapi juga moral. Ia melahirkan ketidakadilan, memperlebar jurang kesenjangan sosial, serta memupuk budaya permisif di mana "asal bisa diatur" dianggap wajar. Lebih jauh, korupsi merusak sistem birokrasi dan menghambat terciptanya pemerintahan yang transparan serta akuntabel.
Korupsi di Indonesia masih menjadi luka lama yang sulit sembuh. Dalam keadaan pemerintahan saat ini, upaya pemberantasan korupsi menghadapi tantangan yang kian kompleks. Lembaga-lembaga negara sering kali dinilai kurang konsisten, bahkan beberapa kebijakan pemerintah justru dianggap melemahkan peran institusi antikorupsi. Hal ini menimbulkan kekecewaan publik dan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Lalu, upaya pemberantasan yang ada saat ini masih lebih banyak berfokus pada aspek penindakan, bukan pencegahan dan perubahan budaya. Penangkapan demi penangkapan memang memberikan efek jera, tetapi tidak otomatis membuat masyarakat, birokrasi, maupun elite politik meninggalkan perilaku koruptif.
Sebagai contoh kasus suap pengadaan bansos COVID-19 tahun 2020 yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara. Dalam situasi krisis kemanusiaan, pejabat publik justru memanfaatkan penderitaan rakyat untuk memperkaya diri. Atau kasus tindak pidana korupsi di Mahkamah Konstitusi tahun 2023 yang melibatkan hakim konstitusi, lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan.
Dari kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa praktik korupsi tidak hanya terjadi di level bawah, tetapi juga merusak institusi tertinggi negara. Serta memperlihatkan bahwa pemberantasan korupsi selama ini masih dominan di aspek penindakan. Hukuman memang dijatuhkan, namun budaya permisif terhadap korupsi tetap tumbuh. Bahkan setelah banyak pejabat dipenjara, praktik serupa berulang, seolah ada keyakinan bahwa risiko tertangkap adalah "biaya jabatan".
Lebih memprihatinkan lagi, sebagian pelaku korupsi adalah orang-orang yang sebelumnya lantang menyerukan pemberantasan korupsi. Mereka memanfaatkan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi, dan ketika ketahuan, berlindung di balik kekuasaan, jabatan, atau celah hukum. Fenomena ini membuat masyarakat semakin apatis dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Lalu apakah pemberantasan korupsi selama ini benar-benar efektif? Lembaga seperti KPK memang masih berupaya keras, namun kewenangan mereka sering kali terbentur kepentingan politik. KPK, yang dulu menjadi simbol harapan rakyat, kini seolah kehilangan taringnya setelah beberapa kali mengalami pelemahan kewenangan. Banyak pihak menilai bahwa reformasi hukum yang seharusnya memperkuat lembaga antikorupsi justru membuatnya terbelenggu oleh kepentingan politik. Tak jarang, upaya penegakan hukum malah diserang balik oleh para pelaku kekuasaan yang merasa terganggu.
Mengubah budaya memang membutuhkan proses yang lebih mendalam seperti pendidikan antikorupsi sejak dini, penanaman nilai integritas dalam birokrasi, serta keteladanan dari pemimpin. Budaya korupsi tidak bisa diberantas hanya dengan sanksi hukum, melainkan dengan membentuk norma sosial baru yang menolak praktik suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang.
Masyarakat pun harus lebih berani bersuara. Budaya diam dan "asal tidak rugi" hanya akan membuat korupsi tumbuh subur. Transparansi publik harus dijadikan norma, bukan ancaman. Setiap rupiah uang rakyat harus bisa dipertanggungjawabkan, dan setiap pejabat yang melanggar harus dihukum tanpa pandang bulu.