Judul tulisan yang tidak mirip puisi, esai atau prosa ini aku buat ketika aku mencoba menelusuri jejak waktu yang entah mengapa tercerai berai dari benakku. Â Apa karena aku sengaja melupakannya setiap kali aku terjaga. Â Sebab aku pikir terlalu banyak ceceran kenangan yang terluka atau mungkin aku secara tidak sengaja justru melemparkannya keluar jendela saat aku menguap atau bersendawa.Â
Entahlah. Â Padahal tentu aku tidak memusuhinya. Â Bagaimana aku memusuhi waktu jika waktu adalah bayangan yang selalu mengikutiku. Â Setiap aku berjalan, waktu mengukir jejak yang sama berbarengan. Â Setiap aku terlibat perbincangan apa saja dengan siapa saja, waktu mengurangi usiaku tanpa memberitahu.
Aku percaya kepada Tuhan. Â Selain menciptakan manusia, Tuhan terlebih dahulu menciptakan waktu. Â Waktu yang bergulir ketika sepasang manusia pertama terlahir di surga. Â Waktu juga yang menghitung kesalahan Adam dan Hawa saat harus menerima hukuman diturunkan di bumi. Â Menjalani waktu dalam melahirkan anak-anaknya. Â Begitu seterusnya. Â Sampai kemudian waktu melahirkan milyaran anak-anak lainnya.
------
Lebah. Â Binatang bersayap yang sempurna dalam memutar manisnya waktu. Â Menyebar seperti pasukan Genghis Khan. Â Mengendus setiap keharuman. Â Lalu menyesapnya tanpa sungkan. Â Membawa manis dengan sepasang sayapnya. Â Sementara di beberapa pasang kakinya menempel putik atau benangsari untuk disebarkan cuma-cuma. Â Bagi kelahiran bunga-bunga selanjutnya.
Lebah yang sendirian adalah pejuang. Â Sedangkan jika dalam kumpulan adalah sebuah kerajaan. Â Kerajaan besar dengan ratu perkasa yang terbaring mengawasi jalannya waktu. Â Agar tidak menuntun para perusuh mengganggu sarangnya yang dipenuhi madu.
Kecuali beruang madu tentu saja. Â Sang ratu dengan sukarela akan memberikannya. Â Karena beruang madu dibatasi oleh waktu. Â Menyecap manis yang murni demi detak jantungnya. Â Dan juga demi air susu yang dihasilkan bagi anak-anaknya.
Manakala suara berdengung terdengar pelan, lebah-lebah itu sedang menikmati waktu bersama manis yang sedang dipilinnya. Â Apabila suara berdengung itu pecah berantakan seperti kapal terkena hantaman meriam, lebah-lebah itu sedang berburu waktu menyelamatkan sarangnya yang terganggu. Â Mempertaruhkan nyawa bagi ratu yang dijunjungnya. Â Seperti para penderma nyawa yang berjuang demi tanah airnya.
-----
Jika disuruh untuk memilih, aku lebih memilih disengat lebah daripada disengat waktu. Â Sengatan lebah sakitnya langsung terasa sehingga aku sadar bahwa itu sakit. Â Tapi disengat oleh waktu membuat hatiku memar dan biru-biru yang tak kusadari sampai hitungan windu. Â Sengatan lebah juga mudah diobati dengan olesan atau suntikan. Â Sementara sengatan waktu tidak mampu disembuhkan dengan cara biasa. Â Melawan dan membalik kejadiannya atau berdiam lalu menyerah atas kekuasaannya.Â
Aku sampai harus membuat sebuah percakapan imajiner untuk mengukur sampai sejauh apa aku bisa menahan diri terhadap sengatan waktu. Â Terhadap pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh waktu. Â Aku lalu berbincang dengan waktu itu sendiri. Â Tapi tetap itu waktuku. Â Bukan waktu yang dipunyai orang lain. Â Karena waktu orang lain pasti berselisih dengan waktuku;