Mohon tunggu...
Muhammad Ilyas Febriyanto
Muhammad Ilyas Febriyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional - Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta

Saya merupakan lulusan dari SMAIT Thariq bin Ziyad Jurusan IPS. Selama bersekolah, saya aktif ikut berorganisasi di sekolah, dan juga mendapatkan keterampilan baru dan bekal ilmu semasa bersekolah. Saya pernah ikut andil dalam acara wajib tahunan sekolah di kelas 11 sebagai Ketua bagian divisi Humas & IT dan mendapat banyak ilmu dan pengalaman baru disana. Prestasi terbaik saya adalah mendapat peringkat 1 selama 3 tahun berturut dan mendapat peringkat ke-2 dengan nilai akademik terbaik dari Jurusan IPS.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Transformasi Pemikiran Feminis di Kawasan Arab: Tinjauan Kasus Republik Islam Iran

16 Mei 2024   12:26 Diperbarui: 24 Mei 2024   16:57 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://theconversation.com/protes-pemaksaan-hijab-di-iran-feminis-berseru-agar-dunia-arab-bertindak-191532

Pada era kontemporer, evolusi pemikiran feminis di wilayah Arab menjadi fenomena yang menarik perhatian, terutama ketika memandang transformasi dalam negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim seperti Republik Islam Iran. Meskipun tradisi dan budaya yang kental masih memengaruhi pandangan tentang peran gender di wilayah ini, pengaruh globalisasi dan pertukaran budaya telah membawa dampak signifikan terhadap pemikiran feminis lokal. Dalam konteks ini, studi kasus Republik Islam Iran menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana feminisme, baik yang berasal dari dalam maupun luar, mempengaruhi perjuangan kesetaraan gender dalam sebuah negara dengan kebijakan yang didasarkan pada ajaran agama.

Sebelum merevolusi pemikiran feminis di Iran, penting untuk memahami latar belakang sejarah gerakan ini dalam konteks sosio-politik negara tersebut. Sejarah panjang gerakan feminis Iran mencakup periode sebelum dan setelah Revolusi Islam 1979 yang mengubah secara drastis struktur politik dan sosial Iran. Dominasi ulama dalam kehidupan politik dan interpretasi agama yang konservatif telah membentuk kerangka kerja yang kuat yang membatasi peran dan hak perempuan dalam masyarakat. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, munculnya gerakan-gerakan kesetaraan gender telah mencoba menantang norma-norma yang ada dan membuka ruang untuk transformasi sosial lebih lanjut.

Pengaruh feminisme Barat dalam gerakan kesetaraan gender di Iran telah menjadi subjek perdebatan yang menarik. Meskipun terdapat resistensi dari kelompok-kelompok konservatif, gerakan feminis liberal telah mendorong perubahan signifikan dalam pandangan masyarakat terhadap peran dan hak perempuan. Tuntutan untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, baik melalui kampanye politik maupun gerakan sosial, telah menjadi bagian integral dari perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan inklusif di Iran. Dengan demikian, studi ini bertujuan untuk menyelidiki secara mendalam bagaimana feminisme Barat memengaruhi dinamika politik dan sosial di Republik Islam Iran serta implikasinya terhadap perjuangan kesetaraan gender di wilayah Arab secara lebih luas.

Sebelum Revolusi Islam 1979, Iran telah menyaksikan perkembangan gerakan feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan secara aktif (Haidar, 2020). Meskipun pada masa itu, perjuangan kesetaraan gender masih dihadapkan pada tantangan besar, gerakan feminis telah muncul di Iran sejak awal abad ke-20. Pada era pra-revolusi, terutama di bawah pemerintahan Shah Pahlavi, perubahan sosial dan politik menghasilkan lahirnya gerakan-gerakan progresif yang memperjuangkan hak-hak sipil, termasuk hak-hak perempuan. Namun, Revolusi Islam 1979 mengubah lanskap politik dan sosial Iran secara dramatis. Kembalinya agama sebagai landasan utama pemerintahan mempengaruhi dinamika gerakan feminis, di mana perempuan dihadapkan pada tantangan baru dalam upaya mereka untuk meraih kesetaraan.

Iran telah mengalami perubahan signifikan sejak Revolusi Islam 1979, dengan pengaruh para pemimpin agama dalam politik dan masyarakat menjadi dewan yang bertanggung jawab untuk membentuk kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan hak dan kekuasaan individu. Konsep Velayat-e Faqih, atau pemerintahan oleh para pemimpin agama, bertujuan untuk mengontrol kehidupan publik, mempromosikan posisi tradisional dalam masyarakat dan mengakui bahwa individu harus hadir di ranah domestik. Hal ini telah menyebabkan pergeseran feminisme di Iran, dengan pemerintah dan kelompok konservatif bekerja sama untuk mempromosikan kesetaraan gender di berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Perubahan ini tidak hanya didorong oleh aspirasi lokal, tetapi juga oleh prinsip feminisme Barat, yang menjamin persamaan hak bagi semua individu tanpa memandang jenis kelamin.

Gerakan feminis liberal telah memainkan peran penting dalam upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di Iran. Dengan menganut pandangan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki posisi yang sama dalam masyarakat, gerakan ini telah mengadvokasi untuk penghapusan aturan-aturan dan kebijakan yang menghambat akses perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka memperjuangkan hak-hak dasar seperti hak untuk bekerja, hak untuk pendidikan, dan hak untuk memilih serta dipilih dalam proses politik. Melalui kampanye politik dan kegiatan sosial, gerakan feminis liberal telah menjadi suara bagi perempuan yang terpinggirkan dan terdiskriminasi di Iran.


Gerakan-gerakan kesetaraan gender di Iran telah menjadi agen perubahan sosial yang signifikan dalam masyarakat. Mereka tidak hanya memperjuangkan hak-hak perempuan secara langsung, tetapi juga berkontribusi pada perubahan paradigma dan norma-norma sosial terkait dengan peran dan hak perempuan. Melalui demonstrasi besar dan kampanye-kampanye yang terorganisir dengan baik, gerakan-gerakan ini telah berhasil menciptakan kesadaran publik tentang pentingnya kesetaraan gender dan menekan pemerintah untuk mengubah kebijakan yang diskriminatif. Sebagai hasilnya, perempuan di Iran semakin meraih ruang untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial negara mereka.

Meskipun terdapat upaya untuk menerapkan gender mainstreaming di Republik Islam Iran, proses ini masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala. Gender mainstreaming merupakan suatu konsep yang membutuhkan integrasi kesetaraan gender dalam semua aspek kebijakan dan program pemerintah, namun implementasinya di Iran terhambat oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah resistensi dari kelompok-kelompok konservatif yang menolak perubahan terkait peran dan hak perempuan dalam masyarakat. Selain itu, ketidakmampuan institusi pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan kesetaraan gender dengan efektif juga menjadi tantangan dalam proses gender mainstreaming di Iran.

Terdapat beberapa faktor yang menghambat implementasi kebijakan kesetaraan gender di Republik Islam Iran. Salah satunya adalah penafsiran konservatif terhadap ajaran agama yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan. Selain itu, faktor budaya dan tradisional juga memainkan peran penting dalam menghambat perubahan sosial yang mempromosikan kesetaraan gender. Norma-norma sosial yang kuat yang memandang peran perempuan secara tradisional dalam masyarakat sering kali menjadi penghalang bagi implementasi kebijakan kesetaraan gender yang progresif. Ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi faktor-faktor ini telah menyebabkan kesenjangan antara retorika dan realitas dalam upaya mencapai kesetaraan gender di Iran.

Kelompok ulama fundamentalis memiliki pengaruh besar dalam mencegah perubahan terkait kesetaraan gender di Iran. Dengan penafsiran konservatif terhadap ajaran agama, mereka telah mengambil langkah-langkah untuk mempertahankan status quo yang menguntungkan mereka dan membatasi peran perempuan dalam masyarakat. Kelompok ulama sering kali menentang reformasi sosial yang memperjuangkan hak-hak perempuan, dengan alasan bahwa hal tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama dan tradisi. Sebagai hasilnya, mereka telah menjadi penghalang utama bagi implementasi kebijakan kesetaraan gender dan perubahan sosial yang progresif di Iran.

Dalam konteks studi kasus tentang evolusi pemikiran feminis di Republik Islam Iran, sebuah teori yang relevan adalah teori Gender Mainstreaming. Teori ini diperkenalkan oleh Charlotte Bunch, seorang feminis Amerika Serikat yang aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan secara global. Gender Mainstreaming merupakan pendekatan kebijakan yang menekankan pentingnya integrasi kesetaraan gender dalam semua aspek kebijakan dan program pemerintah (Perdamaian, 2018). Dalam kasus Iran, teori Gender Mainstreaming dapat diterapkan untuk menganalisis upaya pemerintah dan gerakan kesetaraan gender dalam mengintegrasikan isu-isu gender dalam kebijakan dan program-programnya (Supriyanto dkk, 2022).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun