Mohon tunggu...
Mila Ai Solihah
Mila Ai Solihah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi Syariah IPB University

Syarat untuk menulis ada tiga yaitu: menulis, menulis, dan menulis. (Kuntowijoyo)

Selanjutnya

Tutup

Money

Analisis Isu Kebijakan Penerapan PPN Sembako dalam Perspektif Makroekonomi Syariah

21 Juni 2021   20:14 Diperbarui: 26 Mei 2022   05:50 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sejak tahun 2020 awal, mayoritas negara di dunia menghadapi krisis kesehatan cukup serius yang disebabkan oleh virus Covid-19. Banyaknya masyarakat dunia yang terjangkit virus tersebut menyebabkan adanya kemerosotan ekonomi, sehingga tekanan anggaran sangat dirasakan oleh negara-negara tersebut. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia ini dengan populasi terbesar serta masuk pula menjadi salah satu negara dengan kasus positif terbanyak.

Akhir-akhir ini muncul sebuah isu yang cukup hangat dibincangkan oleh masyarakat mengenai rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen serta pemasangan tarif PPN untuk barang kebutuhan pokok. Hal ini diketahui setelah draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 atau yang lebih dikenal RUU KUP akan dibahas bersama DPR. Lalu, apakah sebenarnya PPN ini?

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Jadi, yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para Pedagang/Penjual. Namun, pihak yang berkewajiban membayar PPN adalah konsumen akhir. Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN.

Seperti yang telah diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah mengumumkan terhadap penerimaan pajak di tahun 2020 berada di angka Rp 1.070 triliun. Nilai tersebut mengalami penurunan dibandingkan dari tahun 2019 dengan realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.332,7 triliun dengan kontraksi sebesar 19,7%. Hal ini merupakan suatu peringatan yang cukup serius mengenai dampak yang dihasilkan dari pandemi Covid-19 ini. Pemerintah harus mampu membuat terobosan baru dalam merumuskan kebijakan yang tentunya mampu untuk meredam shock effect dari Covid-19, khususnya dalam bidang perekonomian.     

Penulis akan berusaha menganalisis dampak penetapan kenaikan pajak secara umum terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Ketika terjadi peningkatan tarif pajak, maka secara makro akan terjadi penurunan permintaan agregat, hal ini disebabkan oleh produsen yang membagi beban tarif pajak nya kepada konsumen pula, sehingga produk yang dijual harganya akan meningkat dibandingkan dengan sebelumnya. Kenaikan harga suatu barang akan menyebabkan turunnya permintaan terhadap barang tersebut. Dalam konteks sembako, menurut Ilmu Makroekonomi, bahan makanan pokok memiliki elastisitas inelastis, ini berarti apabila beras meningkat harganya 1 persen, maka perubahan permintaannya akan kurang dari 1 persen. Hal ini disebabkan oleh bahan makanan pokok merupakan kebutuhan utama manusia sehingga keberadaannya sangat dibutuhkan.

Dalam klarifikasi Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan bahwa hanya produk sembako premium saja yang akan dikenakan PPN. Hal ini bisa menjadi sebuah langkah yang bagus apabila dalam eksekusinya tepat sasaran. Penyusunan kebijakan harus benar-benar memperhatikan aspek keadilan karena masyarakat Indonesia bukan hanya kelas menengah ke atas saja, namun ada kelas menengah hingga bawah pula. Sehingga penetapan PPN pada barang sembako ini akan membawa kejelasan serta manfaat kepada negara.

Pemungutan PPN pada barang atau jasa menurut Islam harus mengutamakan asas maslahat dan keadilan. Jika pajak yang dipungut pemerintah untuk membiayai fasilitas publik yang dinikmati oleh para pembayar pajak itu, maka jumhur ulama ahlus sunnah wal jama'ah dari empat mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hanbali, sepakat bahwa pajak yang dipungut/dipotong oleh pemerintah guna mendanai dan memenuhi kebutuhan masyarakat luas adalah bukan pungutan zalim sehingga halal untuk dipungut/dipotong sebagai pajak oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat juga.

Penambahan PPN akan diterapkan pada sembako premium yang dikonsumsi kalangan menengah ke atas saja. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat menengah ke bawah semakin sulit mengakses sembako premium karena itu akan meningkatkan biaya produksi dan konsumsi masyarakat. Selain itu, sembako premium ini pasti memiliki kualitas yang lebih baik. Dengan adanya kenaikan PPN untuk barang sembako premium, hal ini semakin menjauhkan sembako berkualitas dari jangkauan masyarakat menengah ke bawah. Pada akhirnya, hanya orang-orang tertentu yang dapat menikmatinya. Maka dari itu, penerapan PPN pada sembako pun harus mengutamakan asas maslahat dan keadilan, penerapan pajak yang pro pada masyarakat menengah ke bawah, serta proporsional. Sehingga distribusi pendapatan merata dan tidak menurunkan daya beli masyarakat.

Isu kebijakan penetapan PPN untuk sembako ini tentunya akan terus menuai pro kontra di kalangan masyarakat. Pemerintah harus mampu untuk memastikan bahwa kebijakan penetapan PPN sembako ini akan tepat sasaran dan berkeadilan. Transparansi dalam pembahasan pembentukan kebijakan pun harus dilakukan dengan seoptimal mungkin,sehingga simpang siur nya informasi mengenai kejelasan dari revisi undang-undang tersebut tidak akan membuat spekulasi yang tumbuh di masyarakat sangatlah liar. Oleh karena itu pemerintah dalam membentuk suatu kebijakan harus selalu melibatkan partisipasi dari pihak-pihak terkait, sehingga terhindar dari hal-hal yang berujung kesalahpahaman. 

Daftar Pustaka

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/ekonomi/article/view/2738

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun