Kritik Konstruktif atas Penyelenggaraan Pendidikan Kita
Manusia terdidik tidak bisa berpura-pura. Mengatakan apa adanya, melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Implementasi Nilai kejujuran merupakan bukti masyarakat terdidik. Masyarakat terdidik diajarkan untuk memberikan kritik kontruktif atas keburukan yang berifat destruktif. Masyarakat awam berfikir kritik pihak-pihak terdidik dianggap tidak sopan, namun justru kita diam dan tidak memberikan kritik adalah manusia hipokrite. Justru disitu kita tidak bertanggungjawab atas diri kita. Ini berbahaya bagi perkembangan kehidupan manusia akan datang di negeri ini.
Manusia Indonesia saat ini diharapkan keluar dari Zona nyaman. Manusia Indonesia berani bersuara jika hal itu harus bersuara. Demokrasi dengan segala definisinya memberikan kita pengetahuan tentang bagaimana setiap orang memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam menikmati kemerdekaan. Namun, seringkali hal semacam itu hanyalah slogan yang dihiasi kata-kata puisi. Kenyataannya justru kemelaratan rakyat menyelimuti kehidupan dalam negara ini. Negara Nusantara Katulistiwa. Suatu terminologi yang cukup mencengangkan. Apakah kehidupan penghuninya seperti indahnya julukan tersebut. Itu suatu pertanyaan penting yang musti dijawab oleh semua pihak.
Negara Nusantara Katulistiwa adalah sebuah julukan yang Indah bagi Republik Indonesia. Memang Keindahan Nusantara tidak ada taranya. Julukkan itu cocok baginya. Hanya saja, Negara yang memiliki kesuburan yang tak ada taranya ini, dihancurkan oleh segelincir oligarki atasnama demokrasi. Demokrasi negara kita sudah bergeser jauh karena kepentingan sekolompok elit tadi. Realitas hari ini menunjukkan bahwa yang ada hanyalah kepentingan segelincir politisi. Mengapa demikian, karena atasnama demokrasi, pendidikan kita dikomersialisasi. Segelincir elit negara ini tidak suka dengan masyarakat terdidik. Semakin masyarakat kita terdidik, tentu berdampak pada peningkatan kualitas produk SDM maupun industri. Dengan demikian, negara lain akan menghormati negara Indonesia. Oleh karena itu, biarkan masyarakat Indonesia diberikan kebebasan berfikir dan bertindak dalam koridor hukum negara. Negara mustinya hindari hal-hal yang memenjarakan pikiran dan kreatifitas rakyat.Â
Seringkali segelincir elit mengatakan tidak semua orang menjadi sukses dan kaya. Semua itu sudah ditadirkan oleh sang Maha Kuasa. Hal semacam ini menjadi alasan klasik atas protes rakyat menuntut hak hidup. Alasan semacam ini datang karena pemerintah tidak mau berfikir tentang solusi-solusi dalam mengatasinya. Kata-kata semacam itu hanya bertujuan untuk menghibur rakyat agar rakyat tetap hidup dibawah. Semua kerja keras tentu tidak mengecewakan. Tidak ada manusia yang ditadirkan untuk menderita, namun yang ada hanyalah kita mau berusaha atau tidak. Semua hasil tentu datang dari kerja keras. Sebab dunia kita bukanlah dunia antabrata, namun kita hidup dalam dunia realitas. Jadi, pada prinsipnya semua akses musti dibuka agar semua orang memiliki kesempatan maju dan sukses. Artinya, semua mendapatkan pendidikan yang layak. Itu yang sesungguhnya demokrasi yang diharapkan.Â
Demokrasi bukan hanya berlaku dalam kehidupan elit-oligarki. Corong demokrasi musti dibuka agar rakyatpun merasakan demokrasi yang dimaksud. Demokrasi tidak hanya dalam tataran teori didunia akademik. Demokrasi mustinya dipraktekan dalam kehidupan setiap warga negara. Pemerintah yang cerdas, memiliki strategi dalam mencerdaskan rakyatnya. Masyarakat yang cerdas tentu tidak memiliki kecenderungan untuk bergantung kepada bantuan sosial. Bantuan sosial akan mematikan potensi, sikap kritis dan memelihara kedunguan. Masyarakat yang terbiasa hidup bergantung pada bantuan sosial akan menjadi beban besar bagi penyelenggara negara. Dia juga bisa menjadi badai dalam merusak keberadaan rakyat dalam suatu negara.
Itu sebabnya, demokrasi tidak bisa dijadikan sebagai tameng dalam memelihara kemunafikan, demokrasi tidak bisa dijadikan sebagai alat dalam memelihara kepentingan penguasa. Demokrasi benar-benar diterapkan sebagai alat dalam memberikan keadilan dan kesetaraan manusia-Masyarakat.Â
Penulis: Mikaus Gombo, Mahasiswa Program Doktoral Pendidikan (S3) di Universitas Pendidikan Ganesha. Bali.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI