Mohon tunggu...
Mikhael Morla Mardjono
Mikhael Morla Mardjono Mohon Tunggu... Pelajar

Seorang pemuda yang tertarik dengan uang, bercerita, dan mengetik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fobia, Hukum, dan Etika: Cermin Masalah Bangsa

5 Oktober 2025   18:43 Diperbarui: 5 Oktober 2025   18:43 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bangsa Indonesia sedang menghadapi berbagai tantangan yang tidak hanya bersumber dari alam, tetapi juga dari kelemahan hukum dan krisis moral di kalangan elite. (1)

Hal ini tampak jelas dalam tiga artikel yang membahas isu berbeda namun memiliki benang merah yang sama, yaitu "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" karya F. Rahardi, "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" dalam Editorial Tempo, serta "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati" karya Budiman Tanuredjo. Ketiganya menghadirkan kritik yang tajam, reflektif, sekaligus menyindir kondisi bangsa yang masih sering terjebak dalam ketakutan, kelambanan penegakan hukum, dan kelalaian terhadap nilai etika.

Artikel "Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu" menyoroti fenomena ledakan populasi ulat bulu yang sempat membuat masyarakat panik. Penulis menunjukkan bahwa ketakutan ini sejatinya tidak beralasan, karena ulat bulu hanyalah bagian dari siklus alam yang wajar dan bahkan bisa memberi manfaat bagi pertanian. Ia mengingatkan bahwa di masa lalu masyarakat pernah mengonsumsi pupa ulat sebagai sumber protein, dan bahwa tanaman buah sering berbuah lebat setelah daunnya habis dimakan ulat.

Lebih dari sekadar membicarakan ulat bulu, artikel ini sebenarnya mengkritik cara pandang masyarakat Indonesia yang mudah diliputi ketakutan massal tanpa pemahaman ilmiah. Penulis menyebut Indonesia sebagai "republik hantu", tempat di mana warganya mudah terserang fobia, sementara pemimpinnya pun takut pada hal-hal politis, seperti reshuffle kabinet atau pemakzulan. Artikel ini penting karena menyadarkan bahwa pendidikan publik seharusnya menumbuhkan rasionalitas dan rasa percaya diri menghadapi fenomena alam, bukan menanamkan rasa takut berlebihan.

Berbeda dengan artikel sebelumnya, "Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal" yang diterbitkan Tempo mengulas carut-marut penanganan kasus pagar laut ilegal di pesisir utara Tangerang, Banten. Editorial ini menunjukkan bagaimana instansi-instansi pemerintah saling lempar tanggung jawab, sementara dugaan keterlibatan pengusaha besar dalam proyek reklamasi semakin kuat. Proses hukum yang simpang siur justru mempertebal kesan bahwa pemerintah lebih berpihak pada kepentingan segelintir elite daripada pada rakyat.

Editorial ini menegaskan bahwa lemahnya penanganan kasus tersebut berpotensi menimbulkan konflik sosial dan semakin meruntuhkan kepercayaan publik terhadap negara. Kasus pagar laut ilegal bukan sekadar masalah tata ruang, tetapi juga masalah moralitas politik karena memperlihatkan adanya praktik pembiaran yang melibatkan kekuatan modal besar. Artikel ini relevan untuk membuka mata masyarakat bahwa hukum tidak boleh dibiarkan tumpul ketika berhadapan dengan kekuasaan dan uang. Jika rakyat tidak terus-menerus mengawasi, kasus seperti ini rawan berakhir tanpa kejelasan dan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum.

Artikel terakhir, "Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati", menyoroti lemahnya integritas para elite politik yang dengan mudah melupakan sumpah jabatan mereka. Penulis mengingatkan bahwa sumpah anggota DPR seharusnya menjadi pedoman moral untuk mengutamakan kepentingan rakyat, namun dalam praktiknya justru diabaikan demi kepentingan golongan. Budiman Tanuredjo mengaitkan kondisi ini dengan tuntutan Reformasi 1998 yang hingga kini banyak belum diwujudkan, terutama dalam hal pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan keteladanan politik.

Tulisan ini juga menyoroti krisis keteladanan bangsa. Indonesia telah kehilangan banyak tokoh bermoral tinggi seperti Hatta, Gus Dur, atau Ahmad Syafii Maarif, namun belum mampu melahirkan "muazin" baru yang bisa menjadi panutan moral. Ulasan ini menurut saya sangat kuat, karena menekankan bahwa problem bangsa tidak hanya soal kebijakan, tetapi juga krisis nilai dan integritas. Artikel ini mengajak refleksi bahwa sumpah jabatan dan etika bernegara seharusnya tidak berhenti sebagai simbol formal, tetapi harus benar-benar dijalankan dalam praktik sehari-hari.

Ketiga artikel tersebut, meskipun berbicara pada isu yang berbeda, bertemu pada satu benang merah:

bangsa Indonesia masih terjebak dalam krisis kesadaran.

Ketakutan berlebihan terhadap ulat bulu menggambarkan kecenderungan masyarakat yang mudah panik tanpa memahami realitas ilmiah. Carut-marut kasus pagar laut ilegal mencerminkan lemahnya hukum di hadapan kekuatan modal dan elite politik. Sementara itu, sumpah dan etika yang dilupakan menunjukkan krisis moral yang membuat bangsa kehilangan teladan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun