Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

K12_Diskursus Peradilan Pajak

17 November 2022   17:44 Diperbarui: 17 November 2022   17:47 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pentingnya Independensi dan Objektivitas dalam Peradilan Pajak (dokpri)

Keadilan memang erat kaitannya dengan pajak. Negara memungut pajak dengan deklarasi bahwa hal ini berdasarkan atas keadilan. Atau gaung bahwa pajak diperlukan untuk keadilan perekonomian.

Namun hakikat dari keadilan itu sendiri yang masih terus berusaha untuk diwujudkan dalam cara negara menghimpun pajak. Prinsip keadilan ini terus dibangun pemerintah untuk mewujudkan keadilan itu sendiri. Jadi, keadilan bukan hanya tujuan namun juga bagian dari proses.

Perwujudan keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia diantaranya adalah dengan memberlakukan kebijakan pajak progresif pada pajak penghasilan orang pribadi dan pemberian insentif pajak bagi golongan masyarakat tertentu. Kebijakan-kebijakan pajak penghasilan ini juga memperlihatkan prinsip ability to pay.

Aspek lain dari keadilan dalam perpajakan adalah saat kedua pihak yang terlibat pada proses pemungutan pajak mengalami perbedaan pendapat atau yang biasa disebut dengan sengketa pajak. Salah satu dari kedua pihak tersebut merasa bahwa mereka diperlakukan tidak adil dan membutuhkan mediator yang berkewenangan lebih tinggi untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.

Dalam tata administrasi perpajakan Indonesia, sengketa pajak dapat diselesaikan dengan upaya hukum, baik keberatan, banding, gugatan, maupun peninjauan kembali.

Jangan salah, bukan hanya Wajib Pajak yang bisa mengajukan upaya hukum ini, namun DJP sebagai wakil pemerintah juga bisa mengajukan upaya hukum berupa peninjauan kembali.

Sesuai dengan Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pihak-pihak yang bersengketa di Pengadilan Pajak dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan tersebut. Dalam hal ini, baik Wajib Pajak maupun DJP yang merupakan pihak yang bersengketa memiliki hak yang sama untuk mengajukan peradilan ke Mahkamah Agung. Inilah salah satu bentuk lain lagi dari keadilan dalam pajak.

Berdasarkan data tahun 2020, sengketa pajak yang diajukan keberatan, pembetulan, pengurangan, penghapusan, dan pembatalan mencapai 187.435 kasus, pengajuan banding sebanyak 10.503 kasus dan pengajuan gugatan sebanyak 2.062 kasus. Nilai yang cukup banyak bukan?

Upaya peradilan yang sesungguhnya dilakukan oleh Wajib Pajak bisa dikatakan baru dimulai pada upaya banding. Soemitro (1991) menyebut upaya keberatan adalah peradilan semu. Sebagai tahap pertama upaya Wajib Pajak mencari keadilan, keberatan diajukan Wajib Pajak kepada DJP dan diproses oleh DJP. Sehingga penyelesaian sengketa ini disebut juga sebagai peradilan administrasi tidak murni atau quasi peradilan.

Peradilan semu ini juga dianggap timpang oleh sebagian Wajib Pajak. Berat sebelah atau ketimpangan ini tampak dari persentase penolakan permohonan keberatan Wajib Pajak. Berdasarkan data pada kurun waktu 2014-2018, persentase penolakan permohonan keberatan berada pada angka rata-rata 77%. Data tersebut berbicara bahwa sangat kecil peluang Wajib Pajak untuk bisa menang di proses keberatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun