Mohon tunggu...
MIFTAHUL HIDAYAH
MIFTAHUL HIDAYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Mari berbagi untuk saling mengisi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Etnosentrisme Ragam Bahasa pada Mahasiswa di Kota Malang

28 November 2022   22:01 Diperbarui: 29 November 2022   06:35 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Wawancara 

Mahasiswa merupakan salah satu warga pendatang di kalangan masyarakat sekitar perguruan tinggi. Banyak dari mereka yang berasal dari luar kota maupun luar daerah. Perbedaan dalam hal kebudayaan pastinya sangat terasa berbeda, salah satunya adalah kebiasaan dalam berbahasa. Bagi mahasiswa dari luar Jawa, penggunaan bahasa Jawa pasti terasa asing bagi mereka. Di daerah asalnya mereka lebih sering menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa daerahnya masing-masing. Hal tersebut juga dirasakan oleh mahasiswa asli Jawa yang tidak terbiasa dengan penggunaan beberapa kata gaul, seperti ‘lo-gue’. Perbedaan yang dialami oleh mahasiswa ini bisa menjadi salah satu penyebab ketimpangan budaya dalam hal berbahasa. Hal tersebut juga dapat menjadi salah satu penghambat integrasi nasional yang ada di Indonesia.

Kegiatan wawancara kepada beberapa mahasiswa di perguruan tinggi telah dilakukan. Kegiatan wawancara yang telah dilakukan ini bertema Etnosentrisme dalam Berbahasa. Kegiatan tersebut bertujuan untuk mengurangi etnosentrisme dalam berbahasa. Dengan adanya kegiatan ini, diharapkan bisa mengurangi tindakan membanding-bandingkan budaya yang ada di Indonesia

Etnosentrisme merupakan sikap yang memandang budayanya sendiri sebagai budaya yang paling baik dan mengakibatkan munculnya tindakan berupa menganggap rendah pada budaya lain. Pandangan tersebut mengakibatkan seseorang tidak menghargai budaya yang lain dengan komunitasnya, sehingga bisa berakibat pada perpecahan. Etnosentrisme sendiri dapat terjadi di berbagai lingkungan, salah satunya pada lingkungan perguruan tinggi. Perilaku etnosentrisme di perguruan tinggi dapat berupa membedakan antara teman yang berasal sedaerah dengan yang berbeda daerah. Oleh karena itu, kami melakukan wawancara terhadap beberapa mahasiswa yang berada di kampus Malang, beberapa di antara mereka adalah mahasiswa luar daerah dan juga mahasiswa daerah Malang dan sekitarnya sendiri. 

Wawancara kami lakukan pada tanggal 8 November 2022. Adapun, pertanyaan yang kami tanyakan terhadap mahasiswa luar daerah yaitu bagaimana tanggapan mereka tentang pengaruh penggunaan bahasa jawa pada ruang diskusi terhadap integritas nasional serta solusi yang dapat mereka berikan. Kemudian, untuk mahasiswa yang berasal dari Malang dan sekitarnya, pertanyaan kami adalah seputar penggunaan bahasa gaul ‘lo-gue’  terhadap integrasi nasional serta solusi yang dapat mereka berikan. 

Hasil dari wawancara tersebut, mahasiswa luar daerah menyatakan bahwa penggunaan bahasa Jawa tidak berdampak pada integrasi karena penggunaan bahasa itu berdasarkan dari kebiasaan masing-masing dan bisa diajari (Dhita Lyriana, mahasiswi Universitas Merdeka, asal Bali). Namun, terdapat juga yang kontra terhadap penggunaan bahasa Jawa di lingkungan kampus.  Yohannes, mahasiswa Universitas Merdeka, asal Kalimantan mengatakan bahwa dia menjadi lebih pendiam saat berada dalam diskusi dengan kondisi seperti itu karena tidak memahami bahasa Jawa dan berakibat pada kesenjangan yang mengakibatkan dia harus belajar bahasa Jawa. 

Adapun untuk mahasiswa asal Malang dan sekitarnya yang masih berbudaya Jawa, tanggapan mereka mengenai penggunaan kata ganti ‘lo-gue’ adalah penggunaan kata ganti ini tidak masalah digunakan, tetapi melihat kembali lawan bicaranya apakah bisa menerima atau tidak dan hal ini tidak berpengaruh terhadap integrasi nasional karena penggunaan lo-gue hanya sebagai keakraban, solusi dari hal tersebut adalah mengganti lo-gue dengan saya/aku (Aqiila, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang, asal Sidoarjo). Sejalan dengan hal itu, Zulfia, mahasiswi Universitas Muhammadiyah Malang, asal Lamongan mengatakan bahwa penggunaan lo-gue biasa digunakan di kota besar seperti Jakarta dan tidak biasa menggunakannya disini sehingga terlihat aneh, hal ini tidak berpengaruh pada integritas nasional kalau digunakan pada lawan bicara yang sesama teman. solusi dari hal tersebut adalah menyesuaikan pilihan kata ganti lagi, karena di Malang jarang menggunakan kata ganti tersebut. Informan selanjutnya yaitu Aiman, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, asal Lamongan juga menyatakan bahwa penggunaan lo-gue masih asing dan berdampak pada mempersulit komunikasi sehingga perlu adanya pemberitahuan kalau bahasa seperti itu masih asing di telinga orang jawa.

Dari kegiatan wawancara ini, dapat disimpulkan bahwa yang sudah sering terjadi di lingkungan mahasiswa di kota Malang sendiri adalah etnosentrisme berbahasa di tengah mahasiswa yang multikultural. Tidak dapat dipungkiri bahwa, di kota Malang sendiri penggunaan bahasa jawa telah menjadi bahasa sehari-hari. Hal ini menyebabkan terjadinya culture shock dari mahasiswa luar daerah, dikarenakan perbedaan kebudayaan antara Malang dan daerah lainnya. Begitu pula sebaliknya, culture shock juga sering menjadi problematika mahasiswa asal Malang, ketika budaya lainnya dibawa masuk ke kota Malang. Meskipun demikian, seiring dengan berkembangnya zaman mahasiswa perlu untuk menyesuaikan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat hidupnya. Perlu juga pencegahan dini secara wajar, untuk mencegah terjadinya kepunahan budaya. Dimulai dengan hal-hal sederhana seperti tetap menggunakan bahasa daerah tidak lupa juga melestarikannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun