Dua arus besar yang merupakan hasil bias dari paham utilitarianisme adalah gender equality (kesetaraan gender) dan feminisme.
Sepintas lalu kelihatannya kedua aliran besar di atas, kesetaraan gender dan feminisme, sepertinya sama saja. Keduanya dikenal sebagai aliran yang memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah dominasi laki-laki dalam kehidupan manusia.
Namun jika dikaji lebih mendalam, holistik dan komprehensif maka akan ditemukan garis demarkasi antara kedua aliran tersebut yang kemudian ditandai sebagai perbedaannya.
Fokus gerakan gender equality adalah mengupayakan terciptanya kebijakan yang responsif dan respek terhadap perempuan. Namun, sistem patriarki masih bisa bersembunyi di dalam kebijakan-kebijakan tertentu dalam masyarakat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa gerakan ini bukanlah aliran garis keras.
Di garis batas lainnya, feminisme boleh dikatakan sebagai aliran yang sangat keras. Gerakan ini bermuara kepada penghilangan secara total sistem patriarki sampai kepada akar-akar budaya.
Jika dibandingkan antara aliran yang ada di Indonesia dan yang ada di negara-negara di Eropa, maka akan ditemukan bahwa perjuangan di Indonesia masih pada level gender equality. Sedangkan di Eropa, orang sudah sampai kepada feminisme.
Ada pertanyaan pemantik yang sekiranya dapat menghidupkan api waspada pada diri kedua aliran ini. Apakah boleh saya katakan bahwa feminisme dan pejuang gender equality yang berjuang atas nama keadilan sebenarnya di dalamnya mengandung unsur ketidakadilan itu sendiri?
Letak ketidakadilannya adalah para pejuang ini mengeneralisasi kepentingan dan ketertarikan semua perempuan dalam memperjuangkan ideologi dan simpati mereka. Originalitas keinginan dan sudut pandang masing-masing perempuan terhadap persoalan yang mereka alami diklaim secara membabi buta kedalam satu ideologi. Cara pandang tiap perempuan digiring ke dalam satu konsep yang sama yaitu feminisme dan gender equality. Bahayanya, suatu waktu semua perempuan akan kehilangan keaslian diri dan ide-idenya kreatifnya.Â