Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aturan dalam Adat Perkawinan Orang Sumba

17 Februari 2020   05:49 Diperbarui: 17 Februari 2020   05:54 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tahap adat pembelisan di Sumba

Belis adalah simbol penghargaan terhadap nilai luhur perkawinan dalam adat perkawinan orang Sumba. Belis merupakan salah satu tahap adat yang menunjukkan institusionalisasi dan sakralisasi perkawinan. Karena setelah perkawinan sesorang mendapat status sosial yang baru. 

Namun, ketika orang memahami makna belis dengan kacamata yang berbeda, sebenarnya itu merupakan awal dari penindasan terhadap kaum perempuan. 

Secara struktural perempuan memang sudah ditempatkan sebagai manusia yang dipindahtangankan dari ayah, saudara dan pamannya. Melihat realitas teori bahwa belis adalah bentuk penghargaan terhadap perempuan, terhadap relasi kekeluargaan dan keluhuran perkawinan sedikit mulai memudar, maka kadang yang terjadi dalam proses perkawinan adalah adanya pasar harga diri kaum lelaki dan ajang kemodifikasian kaum perempuan.

Dalam masyarakat Sumba pada umumnya, pengertian perkawinan bukan saja sekadar pihak laki-laki mengambil seorang perempuan sebagai pendamping hidupnya dan begitu pula sebaliknya. 

Perempuan bukan saja sekadar pergi menjadi pendamping hidup seorang pria. Sekiranya ada aturan dalam menjadikan seseorang sebagai pasangan hidupnya.

Pertama adalah perkawinan di luar suku. Untuk menjelaskan hal ini, diambil tiga contoh suku yang ada di Kecamatan Wewewa Utara yaitu suku Kabatana, Winingele dan Umbu Parowa. Seorang lelaki anggota suku Kabatana dapat menikahi seorang perempuan anggota suku Winingele tetapi tidak boleh terjadi sebaliknya. 

Suku penerima gadis (Kabatana) disebut Olesawa sedangkan Suku pemberi gadis (Winingele) disebut Wera. 

Jadi hubungan perkawinan setidaknya harus melibatkan tiga buah suku. Suku Winingele sebagai pemberi gadis untuk Suku Kabatana, Suku Kabatana sebagai pemberi gadis untuk Suku Umbu Parowa dan Suku Umbu Parowa sebagai pemberi gadis untuk Suku Winingele.

Dalam contoh peristiwa ini, kabisu (bahasa Sumba untuk sebutan suku) Winingele adalah pemberi gadis untuk kabisu Kabatana maka kaum lelaki kabisu Winingele tidak diperbolehkan menikahi wanita dari kabisu Kabatana. Dengan kata lain tidak boleh terjadi saling bertukar peran di antara kabisu pemberi dan penerima gadis. 

Wera adalah panggilan yang ditujukan kepada saudara laki-laki ibu atau secara umum seluruh kaum laki-laki yang berasal dari asal suku ibu. Karena secara tradisional mereka adalah pemberi gadis untuk dinikahi oleh laki-laki dari klan si ayah, maka wera juga diartikan sebagai suku pemberi gadis. Sementara klan si ayah yang adalah penerima gadis disebut olesawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun