Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

ARISTOTELES, LABA-LABA, DAN SIKAP WARGANET

19 April 2018   08:04 Diperbarui: 20 April 2018   11:00 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: jakartanotebook.com

Sekitar tahun 350 SM, Aristoteles, filsuf Yunani, mengelompokkan laba-laba sebagai serangga berkaki enam. Sejak itu, selama 20 abad, orang mempercayai bahwa laba-laba berkaki enam. Tak seorang pun yang peduli untuk menghitungnya. Lebih daripada itu, siapa yang mau menantang Aristoteles yang hebat itu?

Datanglah Lamarck, seorang ahli ilmu hayat dan pecinta alam. Ia menghitung dengan teliti kaki laba-laba. Cobalah terka, berapa jumlah kaki laba-laba? Tepatnya adalah delapan!  Cerita yang selama ini sudah diajarkan sebagai kebenaran untuk berabad-abad lamanya diruntuhkan karena Lamarck mau menghitungnya.

Peristiwa yang terjadi berabad-abad lalu pada jaman Aristoteles dan setelahnya, kini terulang kembali. Generasi sekarang yang menyebut diri generasi jaman now mengulang aib masa lalu tersebut, tentu dengan wajah yang berbeda.

Perkembangan teknologi dan media informasi yang pesat, di satu sisi, membuat dunia seperti kampung global. Apa yang terjadi di daerah, pulau, negara bahkan benua lain dapat dengan cepatnya diketahui di tempat lain. 

Sama seperti keadaan dalam sebuah kampung, asap yang mengepul dari dapur dapat dilihat dan dibaui aromanya oleh anggota perkampungan secepat menyebarnya asap. Di era modern seperti sekarang ini, jarak dan waktu bukan lagi masalah untuk mengetahui sesuatu. 

Di sisi lain, keadaan tersebut juga membawa dampak negatif. Dampak destruktif yang semakin menyata  adalah semakin menurunnya daya kritis, orang larut dalam anonimitas massa, dan kehilangan  jati diri.  Hal yang paling patut disayangkan adalah orang semakin kehilangan sikap mengabdi kepada kebenaran.

Terulangnya sejarah kesalahan masa Aristoteles pada jaman sekarang dapat kita lihat dari beberapa hal ini. Bahkan apa yang terjadi pada masa sekarang justru lebih parah.

Pertama, berita palsu, isu, spam, hoaks dan lain sebagai dikonsumsi begitu saja sebagai kebenaran tanpa menyaring secara matang. Apa yang ditonton, baca dan dengar dengan begitu saja diamini sebagai kebenaran. 

Salah satu contoh yang bisa kita ambil adalah tentang kebangkitan PKI. Sebagian besar media yang ada di Nusantara memberitakan hal tersebut. Dikonsumsi oleh sebagian besar orang begitu saja sebagai kebenaran tanpa terlebih dahulu memastikan kebenarannya.

Kedua, setelah mengonsumsi semua hal itu, tanpa mengecek kebenarannya, dengan mudah dibagikan kepada publik dan orang-orang dalam list friend. Satu pengguna facebook, BBM, Whatsapp dan aplikasi lainnya, menandai berita tersebut kepada teman yang lain. 

Pesan siaran mengenai kebangkitan PKI bermunculan hampir di semua aplikasi komunikasi. Begitu juga dengan berita yang isinya adalah pernyataan bantuan kepada pihak tertentu untuk mengurangi beban yang ditanggung pihak tertentu tersebut. Begitu cepat dibagikan kepada orang lain tanpa terlebih dahulu dicek kebenarannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun