Takjub mengingati orang-orang hebat yang tetap gigih dengan amalan terbaiknya.
Seorang ulama sekaligus legenda sastra, Buya Hamka. Beliau pernah dipenjara dengan tuduhan sebagai "pengkhianat negara". Perlakuan tak layak selama beliau dipenjara, hadir menderanya. Kepongahan seorang sipir telah menghinanya tanpa aling-aling.
Namun betapa teduh akhlak Sang Buya. Saat sipir yang telah mencedarai harga dirinya itu meninggal dunia, Buya tetap bangkit menyolatkan.
Pun dengan keberadaannya terkurung dalam jeruji, tak lantas membuat imajinasi dan daya nalarnya turut terpenjara. Melainkan tetap merdeka untuk terus berkarya dan menggagas kebaikan. Terbukti dengan tafsir yang berhasil ditulisnya, tafsir Al-Azhar. Persis ulama Mesir -Sayyid Quthb-. Beliau menuntaskan tafsir legendaris, -Fi Zhilalil Qur'an- di dalam ruang penjara.
Kenapa saya takjub pada kisah dua tokoh itu?
Karena saat mental maupun fisik tengah dihinakan, namun hatinya tetap hidup untuk menikmati "tazkirah" (ladang belajar) yang Allah jamu. DIBATASI tak kemudian membuat jiwanya TERBATAS.
Ketakjuban berikutnya. Â Ada seorang istri dengan kondisi suami tengah dililit kasus hukum. Fitnah dan rekayasa kelompok tertentu menyeret sang suami ke ruang sidang. Ini pukulan berat. Tak sederhana. Namun apa yang terjadi. "Keep moving forward". Pada kondisi terancam (harta, jabatan, keluarga, kesempatan dan lain-lain), sang istri tetap fokus pada tugas.Â
Mengurus rumah tangga normal adanya, menyiasati reaksi kegelisahan anak-anak juga dengan bijaknya, bertetangga tetap berjalan apa adanya, bahkan urusan sosial kemasyarakatan pun tetap masih dijalani dengan wajar. Dan tiadalah sikap wajar itu ada, jika tak ada kekuatan hati untuk tetap kokohkan rasa yakin pada kuasa Allah. Meski secara manusiawi, air mata tak terhindarkan. Namun itu hanya ekspresi wajar sesaat. Tak lebih.
Selanjutnya. Seorang istri. Seorang ibu dari hampir "selusin" jumlah putra-putrinya. Sekian puluh tahun kehidupannya diabdikan secara murni untuk mengurus rumah tangga. Lalu di mana letak takjubnya?
Terletak pada ENDURANCE (daya tahan) untuk tak mengeluh. Ya, tanpa keluhan. Kondisi ekonomi pas pasan, melahirkan terus menerus, kebutuhan anak tak terhindarkan. Namun sang perempuan istimewa itu berhasil menyulap kondisi rumahnya dengan tertib dan rapi.Â
Anak-anak disekolahkan, tugas sekolah anak-anak terperhatikan, kebutuhan pendidikannya tercukupkan, seisi rumah terawat dan terjaga (bersih, adem, membuat betah). Begitulah perjalanan ia habiskan. Untuk mengurus anak dengan telaten, tanpa mengeluhkan predikat sebagai ibu rumah tangga. Tanpa "rungsing" dengan kondisi sebagai perempuan yang berdiam diri di rumah tanpa aktivitas "eksistensi diri" sama sekali.