Ketika kita menanam kebaikan, dengan cara-cara yang baik pula, tentu Allah akan pertemukan kita dengan saat-saat memanen. Adapun saran, sanggahan, masukan, baik yang berkenan maupun tidak, mari kita anggap saja sebagai dongkrak untuk kita menghadirkan produk kebaikan yang jauh lebih istimewa. Biarlah kita menjadi pejuang proses di mana Allah mengabadikan lelah-lelah kita menjadi lillah.
Adapun sikap kita kepada orang lain. Ketika kita tak nyaman dengan perlakukan, spontanitas dan kritikan orang-orang sekitar. Maka hal ini pun insyaAllah menjadi sebaik-baik takaran untuk kita berhati-hati memperlakukan orang-orang sekeliling. Minimal, orang-orang terdekat. Orang-orang serumah.
Bismillaahitawakkaltu 'alallah. Mari saling mendo'akan. Agar Allah tetap jaga segala kebaikan kita. Berkomunikasi yang baik kepada anak, kepada pasangan, jelas bukan sesuatu yang mudah. Meski terhampar sekian teori dan teknik-teknik. Bahkan meski kita telah berlatih sekalipun, pengendalian emosi di dasar hati, tetap saja menjadi ujung tombak atas kondusifnya sikap dan ucapan. Jadi, hakikatnya adalah kembali kepada hati. Kepada rasa.
Mari saling mendo'akan pula. Agar kita tetap mampu bersyukur atas keberadaan anak-anak dan pasangan kita. Meski tak mudah mengingati segala kebaikan dan kelebihan anak-anak dan pasangan, namun "memaksakan diri" untuk bersyukur setiap hari, setidaknya menjadi latihan menempuh refleks.
Dan mari terus saling mendo'akan untuk sama-sama mampu membumikan retorika "Sehidup sesurga". Sebuah frasa indah yang sangat tak mudah dalam proses menempuhnya. Semoga kita tak sekadar terbius oleh kata. Namun bagaimana "saling menakar perasaan" itu nyata dan tetap ada.
Lagi-lagi berbicara soal anak dan pasangan. Karena ketenangan kita menghadapi anak-anak, akan disokong oleh ketenangan kita menghadapi pasangan. Pun berlaku sebaliknya.
Wallohu'alam bishshowab. Hidup adalah pendakian. Bukan seinstant romantika yang ada pada cerita. Namun bagaimana kita bersedia untuk "senasib sepenanggungan".