Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Lelah yang Harus Salah

9 Agustus 2020   23:01 Diperbarui: 9 Agustus 2020   23:16 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah spontanitas. Spontanitas mengungkapkan dan mengekspresikan. Namun pada akhirnya membentur sebuah bagian dalam otak, yakni otak tengah. Yang pada akhirnya kita merasa dijatuhkan, direndahkan, dinomorsekiankan.

Dan hal demikian SANGAT TAK TERASA, telah kita spontankan juga pada anak-anak.

Saat anak telah bejuang keras menempuh sebuah kompetisi. Lalu dari kompetisi tersebut tak berhasil meraih gelar juara. Selanjutnya kita dengan spontan mengatai anak dengan nada-nada penyesalan.

Pun sesederhana saat anak terjatuh atau tersandung. Kita spontan menyalahkannya dengan kalimat yang sangat khas. "Makanya, kalau jalan tuh lihat-lihat".

Dan pada akhirnya kita dibuat spontan menghakimi kekurangan dan kesalahan anak-anak kita tanpa tedeng aling-aling.

  • "Makanya, kalau Mama ngomong, dengerin."
  • "Makanya, kalau Bu Guru menjelaskan, perhatikan baik-baik."
  • "Makanya, kamu tuh jangan males-malesan."

Atau, ada juga remah-remah feodal yang terbawa hingga hari ini. Dengan sangat gagahnya kita mengingatkan anak tanpa menakar dan menimbang usaha-usaha yang telah mereka tempuh. Dan tanpa menakar pula seberapa besar andil, "effort" dan teladan kita untuk mereka.

  • "Harusnya, kamu tuh denger apa kata Mama." (Padahal kita sendiri bukan tipikal taat pada aturan atau wejangan)
  • "Harusnya, kamu tuh puasa dari nonton TV sama main  game." (Padahal kita paling getol "nongkrongin" sinetron dan infotainment)

Demikianlah konteks "yang lelah yang harus salah". Terhambur banyak di sekitar kita. Bahkan jangan-jangan di ruang-ruang rumah kita sendiri.

Kepada anak, kepada pasangan, betapa mudah dan murah bagi kita untuk menghakimi dan menyalahkan. Padahal jelas-jelas mereka dalam kondisi telah berjibaku atau banting tulang.

Nah, giliran kita dihakimi orang lain, disalahkan, dikritik, diingatkan, seringkali kita langsung REAKTIF. Kita lupa bahwa orang sekitar yang kita hakimi tentu akan merasakan ketaknyamanan yang sama.

Tetapi di luar itu semua. Bahwa salah satu kewajiban kita adalah berupaya. Berupaya untuk berproses yang terbaik.

Kita yang hari ini menjadi seorang pionir, seorang penggagas, bahkan sekaligus sebagai orang yang terjun dan "nyebur" langsung membidani hal-hal yang sangat teknis. Lalu, orang-orang yang hanya berposisi penonton, orang-orang yang hanya berposisi penikmat, dengan begitu RENYAH mengkritisi apa yang kita lakukan selama ini. Bismillah. Penilaian dan penghargaan Allah tak mungkin tertukar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun