Istighfar untuk segala khilaf. Tahmid untuk segala takjub.
Kawan-kawan yang dirahmati Allah.
Tak terbatasnya ekspektasi manusia. Berharap diakui, berharap dipercaya, berharap dipuji, dan seterusnya. Namun seringkali, kenyataan meleset dari harapan. Ini sagat lazim. Bahkan meski dibawa "lebay" sekalipun, takdir kita memang harus demikian.
Jika menggunakan pemisalan. Kita, berposisi sebagai suami. Baru saja tiba di rumah, belum duduk belum ngopi, belum pula melepas alas kaki. Tetiba istri kita menyambut dengan rangkaian keluhan dan laporan. "Tahu ngak, Pah. Ini Si Kakak kok bikin masalah sama anak tetangga." (Bla bla bla panjang lebar ke mana-mana)
Jadinya, "zonk". Lebih parahnya lagi, klimaks dari keluhan isteri itu adalah MENYALAHKAN. "Abis Papa sih (bla bla bla)".
Ingin hati disambut dengan pertanyaan ringan, lalu disodori secangkir minuman. Namun kenyataan belum berpihak pada harapan.
Sebaliknya. Bagi yang kita berposisi sebagai isteri. Karena memang tak semua suami itu mampu berbicara lembut, memang ada tipikal suami yang ralatif "direct" alias tak menakar prasaan atau tak melihat situasi. Atau dalam istilah orang Sunda, "pok sang" atau bahkan "pok sok".
Kita dalam kondisi berjibaku mengurusi printilan pekerjaan rumah, tanpa bantuan ART, dengan jumlah "krucil" dalam kondisi "recet" (baca: ramai), tetiba mendapat pertanyaan menohok dari sang suami. "Ini kenapa layar TV jadi tergores begini? Makanya yang betul kalau ngurus anak-anak. Ingetin kalau mereka sampai merusak benda. Kan seharian kamu nggak ke mana-mana. Cuma di rumah doang."
Jlebbbb. Nyesekkkk.
Bahkan ada lagi pertanyaan yang lebih sensitif dan meyakitkan. "Kok uangnya udah habis lagi sih. Emang dipake apa aja?"
Kalau sudah demikian, para istri ingin sekali menyodorkan rincian buku kas. Atau yang lebih detail dari itu. Menyodorkan buku neraca.