Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyelesaikan Masalah dengan Masalah

14 Mei 2020   23:02 Diperbarui: 15 Mei 2020   07:13 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

oleh: Miarti Yoga

Plaaaaak. Plaaaak. Plaaaak.

Dulu. Salah satu guru saya pernah bercerita tentang suami isteri yang nyaris kehilangan cara dalam menghadapi "kenakalan" putranya. Singkatnya, konon anak tersebut sulit diatur, sulit diingatkan, seringkali menjadi biang masalah, dan intinya adalah "tidak bisa memenuhi harapan orangtua".

Sang bapak, dengan sangat gagahnya mendaratkan pukulan kepada si anak. Disusul dengan sangat antogonisnya, sang ibu memuntahkan penghakiman yang tak pantas didengar (baca: kasar).

Si anak yang telah lama terpatok dengan bendera (baca: label)  negatif semacam trouble maker itu hanya tersungkur, terdiam. Kaku. Tanpa kata. Plus saat tubuh gempalnya diseret ke kamar mandi lalu diguyur air dan dibiarkan terkunci di dalam kamar mandi.

Saat itu, meski hanya sebagai  pendengar cerita, sontak saya merasa ngilu. Bahkan jika harus lebih jujur, dada ikut berdebar. Ikut terguncang. Bagaimana tidak? Mendengar ceritanya saja, seolah diri ini menyaksikan sebuah penyiksaan. Dan seolah penyiksaan itu tepat di depan mata.

Lalu tercenunglah mengingati pemandangan yang "naudzubillah" jangan sampai terjadi di keluarga kami. Memikirkan si anak yang batinnya telah terhantam demikian keras. Memang dia tak membantah. Dia tidak mangkir. Dia tak melakukan pembelaan. 

Tapi bisa dibayangkan, betapa gelisah hatinya. Dan kegelisahan itu memuncak menjadi sebuah dendam. Dan pada akhirnya dendam itu menjadi sebuah gunungan keberingasan untuk kelak diekspresikan kepada orang lain. Bisa kepada teman bermain. Kepada teman di sekolah. Dan bisa kepada lingkungan sosial mana saja.

Dan pada akhirnya anak itu menjadi benar-benar "bermasalah".  Bolos ke sekolah, abai dari semua tugas-tugas akademik, tiada semangat (apalah lagi antusias) terhadap orang di sekeliing. Bahkan konon, bisa sampai jenjang SMP atau SMA pun sudah "uyuhan" (uyuhan = peringkat luar biasa untuk titik paling nadir, versi pengertian diri sendiri alias bukan berdasarkan kamus).

Menginjak bangku kuliah. Pun hanya bertahan berapa pekan saja. Drop  out jauh sebelum berjuang. Dan kian nyata bahwa dirinya DEMOTIVASI. Atau mungkin semacam HOPELESS. Atau mungkin juga semacam GIVE UP.

Tak kuat. Tak mampu bertahan. Tak punya imunitas. Tak punya ekspektasi. Tersebab konsep diri yang telah telanjur negatif. Merasa tak pantas. Merasa tak layak. Merasa tak mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun