Maraknya informasi tentang penculikan anak yang belakangan beredar di media sosial sempat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Apalagi penyebaran informasi disertai pula foto-foto seram yang kadang sama sekali tak berhubungan dengan kasus penculikan.
Berbagai bumbu terkait penculikan anak juga mewarnai media sosial selain gambar-gambar yang tak jelas sumbernya itu. Misalnya, disebutkan ada anak hilang lalu kembali membawa uang namun ternyata pada bagian pinggangnya ada sayatan kecil bekas operasi. Setelah dibawa ke rumah sakit ternyata salah satu ginjal anak tidak ada.
Bumbu lainnya, memaparkan tentang perdagangan organ. Bahkan ada di media sosial yang memasang tabel tarif jenis-jenis organ yang diperdagangkan sekaligus harganya. Benar-benar sebuah informasi yang akan membuat siapapun merinding ketakutan.
Bagaimana sebenarnya ihwal berita penculikan anak itu? Aparat kepolisian menyebutkan bahwa berita tentang penculikan anak hoax. Termasuk penjelasan terkait kasus kejadian di Jawa Barat tentang anak yang ginjalnya hilang satu. Aparat kepolisian bahkan mengancam mereka yang dianggap menjadi penyebar berita bohong. Karena berbagai informasi menyesatkan itu berdampak luar biasa seperti munculnya tindakan main hakim sendiri hingga jatuh korban dari beberapa masyarakat ketika menemukan seseorang yang mencurigakan.
Yang menarik sikap Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Walau mengakui sebagian berita tentang penculikan anak hoax namun ada juga yang diakui benar terjadi. “Ada beberapa yang memang benar kasusnya, tapi sebagian besar hoax,” tegas Ketua KPAI Asrorun Ni’am.
Ini artinya berita penculikan anak selayaknya memang perlu disikapi secara arif. Di satu sisi masyarakat perlu bersikap kritis, selektif, teliti setiap mendapat informasi soal penculikan anak agar tidak langsung menyebarkannya. Sebab bisa jadi, informasi itu hoax dari orang iseng yang ingin menciptakan ketaktenangan di tengah masyarakat.
Sikap kedua mengacu pada infomasi KPAI terkait kebenaran sebagian berita penculikan anak selayaknya para orang tua mewaspadai dan berhati-hati. Tanpa harus bersikap panik apalagi kemudian memberikan reaksi berlebihan sehingga mencurigai siapapun termasuk orang-orang yang sakit mental, masyarakat perlu lebih intensif menjaga putra-putrinya terutama di tempat-tempat umum. Pengawasan saat pulang dari sekolah atau ketika bepergian di luar jam sekolah para orang tua perlu terus melakukan monitoring keberadaan dan aktivitas anak.
Informasi penculikan anak lepas benar atau hoax selayaknya menjadi semacam pembelajaran bagi seluruh orang tua bagaimana lebih intensif menjalin komunikasi dengan putra-putrinya. Katakanlah informasi “kasus penculikan” yang belakangan marak hikmahnya diharapkan menjadi penyegar jalinan komunikasi di lingkungan keluarga, yang bisa jadi selama ini kurang efektif karena berbagai kesibukan kerja.
Ini bisa menjadi momentum mengembalikan jalinan dan keharmonisan orang tua dan anak. Sesuatu yang di era sekarang ini terasa urgensinya terutama ketika disadari betapa banyak faktor-faktor yang mudah sekali mempengaruhi perilaku anak. Jalinan komunikasi antara anak dan orang tua yang berjalan baik diyakini akan menjadi pagar perlindungan utama pada anak dalam menghadapi dunia informasi dan komunikasi yang makin terbuka, ancaman penculikan serta pelecehan seksual anak (pedopolia).
Melalui komunikasi intensif dan harmonis antara orang tua dengan anak, berbagai varian serbuan pengaruh negatif yang belakangan bertebaran dapat didiskusikan bersama sehingga anak mendapat masukan terarah dari para orang tua. Pendampingan -bukan lagi menekankan doktrin kaku- dan dialog harmonis bukan hanya mengamankan anak dari penculikan tetapi juga melindungi anak dari berbagai distorsi infomasi menyesatkan yang belakangan menyerbu masuk ke ruang-ruang lingkungan keluarga. Inilah yang perlu medapat perhatian dan disegarkan keluarga-keluarga di negeri ini bila ingin melahirkan generasi berkualitas baik moral maupun intelektual untuk merwujudkan Indonesia hebat.