Menyambut bulan Ramadan tahun ini benar-benar sangat berbeda. Mengapa saya katakan demikian? Karena sejak Ahad 13 Mei 2018 lalu, Surabaya, kota dimana saya berdomisili sejak tahun 2012 diguncang situasi mencekam.Â
Teroris has attacked Surabayan by bombing in several spots. Â
Saya yang sama sekali pada hari itu masih sibuk dengan perencanaan untuk melakukan motret kopi di sebuah cafe sebelum memasuki bulan suci Ramadan akhirnya terhenti. Ndredeg kalau orang Jawa bilang. Khawatir karena serangan teroris benar-benar membabi buta. Dan beruntung karena warga Surabaya sepertinya tidak gentar bahkan berani melawan teroris dengan tidak mudah terprovokasi. Tetap merangkul satu sama lain dengan berbagai perbedaan budaya, agama bahkan kepentingan.Â
Saya sendiri masih ingat betul bagaimana suka citanya saya tahun lalu menyambut Ramadan. Eh, tetapi bukan berarti tahun ini tidak begitu. Hanya saja kondisi Surabaya (apalagi Bom Gereja ketiga itu sangat dekat dari rumah saya) yang sedikit tidak kondusif membuat ketakutan dan was-was meningkat. Bayangkan, bunyi gedebuk sedikit saja sudah membuat saya kaget bukan main, hihi. Lebay?  Silakan berpendapat demikian tetapi kenyataannya seperti itu.Â
Namun, beruntung karena suami serta anak yang selalu berada di samping saya membuat semangat untuk tidak takut dan gentar. Toh jika waktunya mati, meski tidak karena bom-pun bisa saja terjadi, bukan? Ah, andai mereka tidak ada mungkin saya sudah pulang ke kampung halaman karena kejadian tidak menyenangkan ini di Surabaya.Â
Back to the point...Â
Persiapan Awal Ramadan turun-temurun yang saya biasa lakukan sejak kecil adalahÂ
- Mencuci mukena khusus untuk dipakai shalat tarawih. Biasanya Mama membelikan yang baru jika sudah dilihat menguning.Â
- Menulis target Ramadan sebulan ke depan
- Ikut pesantren kilat untuk menambah pengetahuan soal berpuasaÂ
- Mempersiapkan kesehatan karena akan "berkompetisi menyelesaikan bacaan al Quran hingga dua kali"