"Apakah kita benar-benar siap menyambut mobil listrik bukan sekadar gaya hidup baru, melainkan sebagai komitmen penuh terhadap bumi yang lebih lestari? Yuk, kita bahas bersama!"
Indonesia, negeri yang begitu kaya akan sumber daya alam, kembali berada di persimpangan jalan.Â
Di satu sisi, ada mimpi besar tentang energi bersih dan kendaraan listrik. Di sisi lain, ada jeritan alam yang terluka, hutan yang dibabat, tanah yang tergerus, dan sungai yang tercemar akibat tambang nikel---komponen penting dalam baterai mobil listrik.
Pada suatu pagi yang tenang di pelosok Sulawesi, suara burung-burung yang biasanya riuh kini digantikan deru mesin alat berat. Tanah merah membara, hutan tropis berubah jadi lahan tambang yang tandus.Â
Di balik janji besar kendaraan listrik yang bebas emisi, ada luka yang menganga di bumi pertiwi.
Berita tentang Presiden Prabowo yang secara mengejutkan mencabut ribuan izin tambang di kawasan hutan konservasi Raja Ampat membuat publik terbelalak. Banyak yang menyambut dengan haru dan optimisme.Â
Namun, sebagian memilih menahan euforia. "Afwan, ana wait and see dulu. Katanya ada satu PT yang tidak dicabut izinnya," tulis seorang komentator.Â
Kecurigaan pun muncul---benarkah semua tambang disetop? Apakah ini hanya manuver politik atau sungguh keputusan berani demi menyelamatkan lingkungan?
Faktanya, PT Gag Nikel, yang beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat, disebut-sebut tetap melanjutkan aktivitasnya. Namun, perusahaan ini memang berbeda. Sejak awal, PT Gag Nikel telah mendapatkan izin sesuai zonasi dan peruntukan wilayah.Â
Pemerintah daerah Papua Barat Daya dan KLHK menyatakan bahwa operasi perusahaan tersebut legal karena tak berada di kawasan konservasi yang menjadi sasaran pencabutan izin.
Namun, benarkah legalitas cukup jadi alasan untuk terus menambang di surga dunia seperti Raja Ampat? Inilah titik dilematisnya. Masyarakat yang mendambakan pembangunan juga membutuhkan alam yang lestari. Apalagi, pariwisata berbasis ekowisata jauh lebih berkelanjutan daripada pertambangan.