Mohon tunggu...
Mery  Melati
Mery Melati Mohon Tunggu... Tutor - Mahasiswa

Kata-kata adalah senjata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dhemit, Upaya Kritisi Pembangunan Tangsel yang Dianggap Kaku

14 Desember 2019   22:48 Diperbarui: 14 Desember 2019   22:56 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tangerang Selatang (Tangsel) dengan segala hiruk pikuknya sebagai salah satu kota yang menerapkan smart city dalam membangun kemajuan infrastrukturnya, seolah memiliki ruang kosong yang kapan saja dapat kita isi dengan gelak tawa sebuah pertunjukan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Muhammad Akbar (Mahasiswa Univesitas Pamulang), sebagai ketua komunitas Lontjeng Teater, yang menganggap bahwa pembangunan di Tangsel terasa sangat kaku karena tidak ada kesenian yang mengiringinya. Karena itu, pada tanggal 11 dan 12 Oktober 2019 bertempat di Amphiteater Taman Kota 2 BSD, komunitas Lontjeng Teater menggelar pertunjukan Dhemit naskah Heru Kesawa Murti sebagai wujud dari upaya kritisi pembangunan yang ada di daerah Tangsel.

Pertunjukan yang sudah digelar beberapa bulan ini, tak membuat euforia saya saat menonton pertunjukan hilang begitu saja. Hal ini disebabkan karena, Lontjeng Teater dengan lakon Dhemitnya begitu apik dalam memberikan suguhan melalui pergelaran. Tentu hal ini tidak lepas dari peran sang sutradara yaitu Yus Yunus sebagai salah satu pendiri komunitas Lontjeng Teater. 

Yus Yunus mengungkapkan bahwa beliau melakukan rekonstruksi ulang naskah Heru Kesawa Murti agar dapat lebih diterima oleh para penonton yang notabene adalah kaum milenial. Langkah tersebut merupakan langkah yang saya rasa sangat tepat sebagai seorang sutradara, sehingga Lontjeng Teater dikenal memiliki karakter dan ciri khas tersendiri dalam menyuguhkan Dhemit, namun tetap tak mengurangi pesan moral yang ingin disampaikan dari naskah karya Heru Kesawa Murti ini.

Sang sutradara mengatakan bahwa lakon Dhemit menjadi representatif dari masalah pembangunan yang ada di daerah Tangsel. Seperti misalnya banyak sekali pembangunan di Tangsel yang dirasa tidak efektif dan tidak jelas fungsi serta manfaatnya, kebanyakan hanya dijadikan sebagai "ladang duit" saja tegasnya. Hal ini jugalah yang disampaikan para aktor Dhemit melalui pementasannya yang sangat luar biasa. 

Hal tersebut nampak jelas dari antusiasme yang sangat luar biasa pula dari para penonton yang menyaksikan pertunjukan tersebut. Mementaskah naskah yang sama di hari yang berbeda tak membuat penonton surut. Bahkan di hari kedua, amphiteater seolah menjadi lautan manusia saking banyaknya orang mengantri untuk bisa menonton pertunjukan Dhemit yang dipersembahkan oleh Lotjeng Teater ini.  

Tak ada gading yang tak retak. Sebaik-baiknya dalam mempersiapkan sebuah pertunjukan, pasti ada saja suatu kekurangan dan hambatan yang dialami ketika pertunjukan sedang berlangsung. Hal itu juga yang saya lihat pada saat pementasan Dhemit oleh Lontjeng Teater. Kesalahan yang paling nampak yaitu dari segi tata cahaya.

 Saya rasa tim tata cahaya kurang sigap saat menyoroti pergantian aktor di atas panggung. Hal ini memang tidak terlalu berpengaruh terhadap keseluruhan cerita lakon Dhemit tersebut, hanya saja mengurangi nilai estetika dari segi pertunjukannya itu sendiri. Sebagai penonton awam yang tidak mengerti mengenai teknik pencahayaan, saya hanya menilai bahwa tata cahaya merupakan komponen yang cukup penting dalam menyuguhkan sebuah pertunjukan teater, karena itu harus dipersiapkan dengan matang. Serta yang bertugas sebagai tim tata cahaya harus mengetahui dan mengikuti alur dari pertunjukan itu sendiri. Sehingga antara lakon dan cahaya sebagai penguat latar beriringan dengan baik.

Tak hanya itu, nampaknya dari segi tata suarapun terdapat sedikit kendala yang akhirnya mengurangi nilai rasa dari pertunjukan tersebut. Pada saat aktor mengatakan mendengar suara buldoser dalam dialognya, namun saya sebagai seorang penonton tidak mendengar suara tersebut. Hanya ada suara-suara dari alat musik yang menandakan bahwa suasananya sedang mencekam. Hal ini tentu bukan suatu kesalahan besar, namun alangkah lebih baiknya jika hal-hal tersebut dipersiapkan dengan lebih baik agar hal-hal yang tadi saya sebutkan bisa diminimalisir. 

Namun dari kekurangan yang saya sebutkan di atas, tak mengurangi decak kagum saya terhadapat Lontjeng Teater yang telah sukses memberikan suguhan terbaik melalui pertunjukan teater dengan lakon Dhemit-nya. Hal itu pula yang diungkapkan oleh para aktor khususnya para dhemit yang menjadi tokoh utama dalam pertunjukan tersebut. 

Mereka merasa lega karena akhirnya upaya mereka untuk memberikan pertunjukan terbaik dengan berlatih berbulan-bulan nyatanya membuahkan hasil. Merekapun tak menyangka bahwa antusiasme para penonton bisa sebanyak itu. Bahkan di hari kedua, penonton rela berdiri dan tidak mendapati tempat duduk karena ingin menyaksikan pertunjukan Dhemit oleh Lontjeng Teater.

Ternyata, misi Lontjeng Teater dalam melakukan upaya mengkritisi pembangunan di daerah Tangsel tidak berhenti sampai di sini saja. Pada bulan Desember, Lontjeng Teater yang bekerja sama dengan UKM USB (Unit Seni dan Budaya) UNIS Tangerang, akan menggelar pertunjukan teater kembali dengan naskah yang sama namun dengan konsep yang berbeda. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun